Gunung Agung diturunkan statusnya menjadi siaga pada Minggu (29/10). (BP/dok)
AMLAPURA, BALIPOST.com – Kepulan asap atau solfatara yang keluar dari dasar kawah Gunung Agung pada Sabtu (7/10) pukul 20.45 Wita membubung sampai dengan ketinggian 1.500 meter. Kepulan asap ini paling tinggi dibandingkan sebelumnya semenjak status gunung tertinggi di Bali itu ditetapkan awas per 22 september lalu.

Asap tinggi yang keluar dipicu oleh uap air akibat hujan deras yang mengguyur sejak tiga hari terakhir. Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG/BG ESDM I Gede Suartika, Minggu (8/10), mengungkapkan, berdasarkan evaluasi pada 8 Oktober Gunung Agung masih tetap awas. Kondisi kegempaan sampai saat ini masih cukup kritis.

Untuk gempa vulkanik dalam masih tinggi yakni untuk vulkanik dalam di angka 600-an, vulkanik dalam 300 dan tektonik lokal 70-an. Suartika menjelaskan, untuk perkembangan asap atau solfatara pada malam hari pada pukul 20.45 Wita memang membubung sampai dengan ketinggian 1500 meter di puncak.

Baca juga:  Gubernur Koster Menjadi Pembicara di Forum World Bank Group

Kata dia paginya dari sebelah utara asap juga terlihat membungbung tinggi dengan ketinggian yang hampir sama. Dia menjelaskan, secara kegempaan belum adanya tanda-tanda memicu untuk terjadinya erupsi. Karena gempa-gempa yang terjadi masih sama dengan gempa yang terjadi sebelumnya. Kalau sudah terjadi gempa tremor baru akan mendekati terjadinya erupsi.

“Asap yang keluar akibat adanya curah hujan yang tinggi yang terjadi sejak tiga hari terakhir. Dengan kondisi dasar kawah yang panas, ketika kemasukan air hujan selanjutnya akumulasi ke bawah dan kembali keluar keatas bersamaan dengan solfatara bercampuran dengan uap air dan gas. Jadi yang keluar itu campuran solfatara dengan uap air. Pada intinya warna asapnya masih putih. Dan belum ada keluar pasir atau abu,” katanya Suartika sembari menyatakan bau belerang di puncak sudah menyengat dengan radius 700 meteran dari bibir kawah.

Baca juga:  Tiga Zona Sumbang Tambahan Kasus dan Pasien Sembuh Terbanyak

Dia menjelaskan, dengan curah hujan tinggi yang turun sejak beberapa  hari terakhir ini tidak akan mempengaruhi cepat lambatnya terjadinya erupsi. Menurut Suartika, elama Gunung Agung krisis ini adalah magmatisnya. Karena magmatis itu karena gempanya cukup tinggi, maka pihaknya memodelkan letusan yang terjadi sekaligus magmatisnya. “Jadi itu estimasi kita. Maka dari itu radius zona bahaya kita perluas menjadi 12 kilomater. Sedangkan kalau preatik ada pengaruh uap air di dalam bawah kawah. Itu merupakan pendahuluan dari letusan magmatis itu. Jadi urutannya preatik, priatomagmatik baru ke magmatis,” jelasnya.

Baca juga:  Pesta Sabu, Brigadir Polisi Ini Terancam Dipecat

Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani menegaskan, dengan status Gunung Agung yang awas, hal yang terjadi itu merupakan hal yang biasa. Karena asap atau solfatara yang keluar bercampur dengan uap air akibat hujan deras yang terjadi tiga hari belakangan ini.

Karena aktivitas gunung masih cukup tinggi. “Hembusan solfatara berwarna putih bercampur dengan uap air dan gas. Karena dari bawah masih ada suplai energi dari bawah,” katanya.

Kasbani menjelaskan, pihaknya akan terus melihat perkembangannya Gunung Agung melalui data-data yang masuk dari alat yang digunakan untuk memantau saat ini. “Kalau erupsi ada waktunya. Tapi sekarang masih belum,” jelas Kasbani (Eka Parananda/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *