pengerajin
Pengerajin gerantang di Banjar Penida, Desa Tembuku, Bangli. (BP/nan)
BANGLI, BALIPOST.com – Sulitnya mencari bahan baku menjadi kendala utama bagi pengerajin gerantang di Banjar Penida, Desa Tembuku, Bangli untuk terus megembangkan kerajinan yang mereka buat. Pasalnya, untuk mencari bahan baku bamboo yang bagus harus mencari hingga keluar daerah yakni Tababan.

Salah seorang pengerajin gerantang di Banjar di Banjar Penida, Desa Tembuku, Bangli, Komang Kompyang, Kamis (17/8) mengungkapkan, pihaknya memang terkandala bahan baku untuk pembuatan kerajinan gerantang. Kata dia, untuk dapat menghasilkan gerantang yang bagus dengan menghasilkan nada agar berirama harus mencari bahan baku hingga ke luar darah. Sebab, bamboo yang dipakai untuk membuat kerajinan gerantang itu langka.

Baca juga:  Karena Ini Pasar Tembuku Ditutup Tiga Hari

“Saya sampai mencari bamboo untuk membuat gerantang di Tabanan. Bambu ini merupakan bamboo hitam dari jawa. Karena disini tidak ada bamboo yang seperti ini. Kalaupun ada hanya beberapa itupun mambunya tipis. Sedangkan bamboo yang dari jawa lebih tebal dan menghasilkan sarana yang bagus, ”ungkap Kompyang .

Kompyang mengatakan, untuk bamboo yang dibelinya tersebut kondisinya sudah kering. Sehingga pihaknya tidak lagi mengeringkan bamboo dan langsung bisa dibuat gerantang. Hanya saja, sebelum membuat gerantang tersebut, pihaknya lebih dulu memilih bamboo untuk menentukan suara agar entonasi nada yang dikeluarkan berirama. “Untuk pembuatnya memang tidak lama. Palingan 2-3 hari sudah bisa menyelesaikan satu gerantang yang sudha siap pakai,” katanya.

Baca juga:  Hari Ini, Bali Kembali Nihil Tambahan Korban Jiwa COVID-19

Daia menjelaskan, untuk pemasarannya kerajinan gerantang yang dibuatnya tersebut, aku Kompyang sebelumnya kerajinan sempat dikirim ke Yogyakarta, Sulawesi. Namun sekarang ini, pesanan ataupun pembeli yang datang kesini untuk mencari gerantang  dari wilayah Bangli dan daerah lainnya di Bali. “Sebelumnya kerajinan genrantang sempat saya kirim ke Belanda, mengingat saat itu ada orang belanda yang membeli gerantang ini.  Tapi sekarang konsumen masih di Bali,” jelasnya.

Lebih lanjut dikatakan, Kompyang menegaskan, jika tidak setiap hari pihaknya dapat benjualan hasil kerajin yang dibuatnya. Bahkan, terkadang sehari sempat tidak mendapat berjualan. “Tidak dapat berjualan sehari sudah biasa. Bahkan waktu ini seminggu tak ada pembali. Tapi sekarang mulai normal,” ucapnya.

Baca juga:  Industri Baterai Diresmikan, Jurusan Energi Baru Terbarukan Dibuka

Disinggung terkait harga yang dipatok setiap gerantang, Komyang menegaskan harga yang ditawarkan berbeda. Kata dia, harga satu gerantang disesuaikan dengan ukir-ukiran yang ada pada gerantang. Dimana harga paling mahal dihargai Rp 6 juta dan yang paling murah Rp 300 ribu. “Kalau gerantang yang polos paling murah. Kalau yang diukir juga harganya berbeda tergantung kerumitan ukiran. Karena semakin rumit harganya semakin mahal,” tegas Kompyang. (eka prananda/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *