BANGLI, BALIPOST.com – Nasib pasangan suami istri A.A. Putu Gianyar Tusan (75) dan Jero Wayan Nastri (60) warga Banjar Susut Kaja, Desa Susut tidak seberuntung pasutri pada umumnya. Diusianya yang sudah senja, pasutri ini hanya hidup berdua di sebuah pondokan di Banjar Selat Nyuhan Desa Pengiangan Susut. Untuk bertahan hidup sehari-hari, pasutri renta yang tak memiliki keturunan ini hanya mengandalkan penghasilan menjual bide (anyaman bambu) serta belas kasih dari tetangganya.

Ditemui di rumahnya Selasa (30/5), A.A. Gianyar Tusan hanya bisa duduk di teras rumahnya. Pria yang dulunya pernah menjadi seniman Arja di Lampung Sumatera Selatan ini kini tak lagi bisa bekerja akibat kondisi kakinya yang lumpuh dan matanya yang mengalami kebutaan sejak lebih dari tujuh tahun terakhir. Untuk sekedar buang air kecil, Gianyar Tusan mengaku harus berjalan menggunakan bantuan tongkat.

Baca juga:  Gempabumi Guncang Buleleng

Gianyar Tusan mengungkapkan selama ini dirinya hanya hidup berdua bersama istrinya di pondok yang berdiri di atas tanah warisan ayahnya. Ini dikarenakan dirinya tidak memiliki keturunan dari hasil pernikahannya bersama istrinya Jero Nastri.

Dia bersama istrinya sudah mulai menempati rumah pondokan sejak sekembalinya dari transmigrasi di Lampung puluhan tahun silam. Saat ini kondisi rumah yang ditempatinya sudah banyak mengalami kerusakan terutama pada bagian atap. Ketika musim hujan, dirinya dan istrinya terpaksa mencari sudut yang aman agar tak basah terkena rembesan air hujan.

Baca juga:  Disdukcapil Badung Dorong Semua Desa Jadi Desa Cerdas

Demikian juga kayu penyangga rumah sudah banyak yang lapuk termakan usia. Tak hanya bangunan rumah tempat dirinya tidur, kondisi yang sama juga diakuinya terjadi pada bangunan dapur yang ada di selatan rumahnya.

Selama ini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Gianyar Tusan mengatakan dirinya hanya bisa mengandalkan istrinya Jero Nastri. Kesehariannya Jero Nastri yang kini juga sudah mengalami rabun dan gangguan pendengaran hanya bisa membeli kebutuhan hidup seperti beras, air dan listrik dari hasil menjual anyaman bide yang nilainya tak seberapa. “Listrik tiang polih nempil saking pisaga tiange. (listrik ini saya dapat dengan cara nyambung dari tetangga saya). Per bulannya bayar Rp 15 ribu,” ujarnya.

Baca juga:  Kakek Ekhsan, Saksi Sejarah yang Hidup Memprihatinkan

Dirinya mengaku sudah tidak pernah lagi mendapat bantuan dari pemerintah. Seingatnya dirinya hanya pernah menikmati bantuan beras miskin (raskin) sebanyak tiga kali. Itu pun diterimanya sudah sangat lama. Bantuan, kata Gianyar Tusan selama ini hanya diterimanya dari tetangga dan orang/yayasan yang merasa iba terhadap kondisi diri dan istrinya.
(Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *