I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A.

Subak adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman ditingkat usaha tani pada ma-
syarakat adat di Bali, bersifat sosioagraris, religius dan ekonomis. Sejarah Subak telah dikenal masyarakat Bali sejak abad ke-9 Masehi, dalam prasasti tertua di Bali, yaitu Prasasti Sukawana A1 (Purwita, 1993: 42) ditemukannya arti kata “Huma” yang berarti “sawah”.

Dalam Prasasti Raja Purana (Tahun 994 Saka / 1072 Masehi), terdapat kata “kasuwakara” yang diduga berasal dari kata “suwak“, kata ini kemudian berkembang menjadi “subak“. Kata “suwak” sendiri, terdiri atas atas dua suku kata yaitu “su-” yang berarti
baik dan “wak” yang memiliki arti “melakukan
pembicaraan dengan niat baik untuk kepentingan
bersama.

Secara faktual diketahui di Bali adanya sistem irigasi yang disebut “Kasubakan” atau “Subak” pada tahun 1071 M, didukung oleh prasasti Klungkung pada tahun 1072 M. Sistem irigasi dalam pembagian atau tata
kelola air telah dibuat semaksimal mungkin secara teratur dan demokratis oleh para petani berdasarkan musyawarah, mengoordinasikan penanaman, mengontrol distribusi air irigasi, merencanakan pembangunan, pemeliharaan kanal dan bendungan serta mengatur upacara persembahan kepada sang pencipta.

Kelembagaan subak di Bali, memiliki keunikan menjadi penguat dan perekat bagi anggota, dipimpin oleh seorang Pakaseh yang dipilih secara demokratis berdasarkan musyawarah mufakat berasal dari petani, berdasarkan karateristik diikat oleh Pura Swagina yaitu Pura Uluncarik atau Pura Bedugul sebagai tempat pemujaan Dewi Sri sebagai manifestasi Dewa Kesuburan dan Kemakmuran.

Baca juga:  Irigasi Ditutup Dak Beton, Warga Subak Protes

Keunikan Subak sebagai sebuah kearifan lokal mendapatkan pengakuan dari UNESCO (29 Juni 2012) sebagai warisan budaya dunia.

Sebagai salah satu warisan budaya dunia, sistem subak masih bisa bertahan meskipun didera berbagai permasalahan berupa kelemahan serta ancaman yang mendegradasi keberlanjutan dan kelestarian subak. Terjadinya perubahan kondisi yang terjadi baik berupa menurunnya jumlah petani, lahan yang terus berkurang, lemahnya posisi subak dari segi hukum (internal), pertumbuhan penduduk, kebijakan yang tidak berpihak,
pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata (eksternal), didukung filosofi “Paras-paros sarpa naya selulung subayan taka”, yang memiliki arti ‘saling memberi dan menerima/berat sama dipikul ringan sama dijinjing’.

Mengendurnya fungsi subak di bidang tata guna air dan atau tata tanaman mulai terasa setelah diterapkanya kebijakan revolusi hijau. Kemajuan pembangunan di berbagai sektor mendukung kondisi ironis keberlanjutan subak. Banyak lahan pertanian dikonversi menjadi lahan
perumahan dan pendukung sarana kepariwisataan yang menjadi motor perekonomian Bali. Alih fungsi lahan sawah di Bali berdasarkan data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Bali rata-rata 419,76 hektar (0,51 %)bper tahun terjadi di semua kabupaten/kota terutama pada daerah Urban.

Baca juga:  Saluran Irigasi Jebol, Pengairan Belasan Hektar Lahan Subak Terganggu

Keberadaan hukum waris menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, faktor irigasi dan jumlah anggota subaknya berkurang, kebijakan direktif dan instan untuk mendorong peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), tidak linearnya kebijakan RTRW di provinsi dengan kabupaten/kota di Bali menggerus nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal sebagai konsekuensi logis dari sisi ekonomi dan sosial juga menjadi faktor terkonversinya lahan pertanian di Bali. Satu hal yang tidak bisa dihindari dan pasti, alih fungsi lahan sawah
menjadi suatu ancaman serius kelestarian dan
keberlanjutan subak.

Pada era modern dan pengaruh globalisasi ini
kebertahanan subak diuji yang menggerus kearifan lokal masyarakat Bali, menimbulkan pertanyaan dan kecemasan “Akankah Subak hanya akan menjadi sebuah cerita budaya yang berhasil menjadi Warisan Budaya Dunia UNESCO?”. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian melalui perlindungan lahan pertanian bisa dianggap sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian subak, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan mewujudkan ketahanan
dan kedaulatan pangan.

Baca juga:  Membangun Sawah Abadi

Konversi lahan sawah tidak hanya berbahaya bagi keberlanjutan sistem subak dan swasembada beras Bali, juga mempengaruhi sistem kekerabatan dan kemasyarakatan Bali yang berkait langsung/tidak dengan Subak. Semua itu bermuara pada sikap budaya dan filosofi orang Bali yang terkait dengan alam, termasuk kekuatan-kekuatan inhuman di dalamnya.

Subak bukan semata sistem pertanian, tetapi Subak mewakili budaya Bali yang berbasis pertanian lahan basah yaitu padi tercermin budaya gotong-royong, pelestarian lingkungan, pengetahuan musim, angin, dan pengendalian hama dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Pencipta.

Upaya untuk memperkuat adalah secara tegas menerapakan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dengan berbagai kebijakan keperpihakan terhadap petani dengan membebaskan pajak bagi lahan pertanian yang produktif.

Mengimplemtasikan Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 tahun 2019 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali dengan mensinergikan pariwisata berbasis pertanian yang bersifat mutualisme, pengakuan subak sebagai lembaga berbadan hukum sehingga mempunyai kekuatan untuk mengembangkan usaha.

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Bidang Riset, Inovasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Badan Riset dan Inovasi Kabupaten Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *