
I.G.A.K Satrya Wibawa
Tahun 2025 menjadi momentum reflektif bagi Indonesia: genap 75 tahun keanggotaan di UNESCO. Selama lebih dari tujuh dekade, Indonesia telah menorehkan berbagai pencapaian penting, salah satunya adalah keberhasilan mengangkat warisan budaya dan alam ke panggung dunia melalui program UNESCO.
Di antara puluhan elemen budaya dan alam yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia, Bali menjadi salah satu provinsi yang paling menonjol kontribusinya. Tiga elemen penting yang telah diinskripsi UNESCO dari Bali adalah Sistem Subak (2012), Geopark Batur (2012), dan Tiga Genre Tari Tradisional Bali (2015).
Selain ketiga elemen tersebut, sejumlah warisan budaya Indonesia yang telah diinskripsi UNESCO secara nasional juga memiliki akar kuat di tradisi dan praktik budaya Bali. Misalnya, gamelan, yang diinskripsi UNESCO pada tahun 2021 sebagai ensambel musik tradisional Indonesia.
Keris, yang diakui UNESCO pada 2005, juga hidup dan berkembang dalam tradisi Bali. Demikian pula dengan wayang, memiliki kekayaan bentuk dan fungsi tersendiri dalam konteks ritual dan pertunjukan sakral.
Bali juga menjadi wilayah penting dalam praktik dan pelestarian batik, terutama batik tulis dengan motif khas Bali. Bahkan kebaya, yang baru saja diakui sebagai sebagai warisan budaya takbenda UNESCO pada 2024 dalam skema joint nomination oleh lima negara ASEAN, merupakan bagian tak terpisahkan dari busana perempuan Bali, dikenakan dalam upacara adat, persembahyangan, hingga kegiatan sosial.
Meski tidak semua inskripsi UNESCO menyebut Bali secara eksplisit, pondasi nilai, praktik, dan ekspresi budaya Bali menjadi bagian penting dari pengakuan tersebut, menegaskan posisi Bali sebagai pusat vital warisan budaya dunia di Indonesia.
Apa Makna Pengakuan UNESCO bagi Bali?
Ketika UNESCO menetapkan Sistem Subak sebagai Cultural Landscape of Bali, dunia mengakui bahwa pertanian bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi ekspresi spiritual dan sosial. Subak adalah sistem irigasi yang tak hanya efisien secara teknis, tetapi juga mencerminkan filosofi Tri Hita Karana—keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Pengakuan ini menempatkan Bali sebagai pelopor konsep pertanian berkelanjutan berbasis budaya. Demikian pula dengan Geopark Batur, yang menjadi bagian dari UNESCO Global Geopark Network. Kaldera Gunung Batur dan lanskap sekitarnya tak hanya mengandung nilai geologis penting dalam sejarah bumi, tetapi juga menyimpan kekayaan budaya dan sistem hidup masyarakat Kintamani yang unik. Pengakuan geopark membuka peluang besar bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan, riset ilmiah, serta pendidikan lingkungan.
Adapun tiga genre tari tradisional Bali—Wali (sakti/sakral), Bebali (semi-sakral), dan Balih-balihan (hiburan)—diakui UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Dengan pengakuan ini, dunia mengakui bahwa seni pertunjukan Bali adalah warisan hidup yang melibatkan komunitas, diturunkan lintas generasi, dan terus berkembang seiring zaman.
Tantangan yang Dihadapi Saat Ini
Meski telah memperoleh pengakuan UNESCO, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ancaman terhadap kelestarian warisan ini makin nyata.
Sistem Subak, misalnya, terus terdesak oleh alih fungsi lahan, industrialisasi pertanian, serta berkurangnya generasi muda petani. Banyak lahan sawah yang dulunya bagian dari jaringan Subak kini berubah menjadi vila, perumahan, atau akomodasi wisata. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada hilangnya fungsi ekologis, tetapi juga merusak nilai sosial dan spiritual Subak itu sendiri.
Geopark Batur juga menghadapi tantangan serius, mulai dari tata kelola yang belum solid, pembangunan kawasan wisata yang tidak terintegrasi dengan prinsip geopark, hingga rendahnya kesadaran masyarakat dan wisatawan terhadap pentingnya konservasi kawasan. Jika tidak dikelola dengan baik, status geopark berisiko dievaluasi atau bahkan dicabut oleh UNESCO, sebagaimana pernah terjadi di beberapa negara lain.
Di balik semarak panggung dan sorotan wisata, kesejahteraan para seniman tari dan pengrawit gamelan Bali masih menjadi persoalan mendasar yang belum tertangani secara serius. Meski mereka menjadi ujung tombak dalam menjaga dan menghidupkan warisan budaya takbenda yang telah diakui UNESCO, banyak dari mereka masih menghadapi kondisi kerja yang tidak pasti, honorarium yang rendah, dan minimnya jaminan sosial.
Pertunjukan tari dan gamelan yang ditujukan untuk wisatawan seringkali berlangsung tanpa perlindungan hak cipta, standar etika, maupun pengakuan profesional yang memadai. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa di tengah arus komersialisasi, seniman justru menjadi pihak yang paling rentan, baik secara ekonomi maupun kultural.
Jika tidak ada upaya konkret untuk menjamin kesejahteraan mereka, maka keberlanjutan seni pertunjukan Bali berisiko mengalami degradasi—bukan karena kehilangan penonton, tetapi karena para penjaganya kehilangan daya untuk bertahan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, pemerintah daerah perlu menempatkan warisan UNESCO sebagai prioritas kebijakan pembangunan, bukan sekadar simbol atau materi promosi pariwisata. Pengakuan UNESCO harus diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), disertai dengan alokasi anggaran yang cukup untuk konservasi, pendidikan, dan penguatan komunitas pelestari.
Kedua, Masyarakat Bali—terutama generasi muda—perlu diajak kembali memahami makna dari warisan yang mereka miliki. Praktik baik yang sudah dijalankan oleh sejumlah sekolah—seperti menjadikan gamelan dan tari Bali sebagai bagian dari kurikulum akademik—patut dipertahankan dan diperluas. Demikian pula dengan kebiasaan mengenakan kebaya sebagai busana harian atau dalam acara sekolah. Pelibatan generasi muda sangat penting untuk menjamin keberlanjutan warisan ini secara organik dan relevan dengan zaman, sehingga warisan tidak hanya dirayakan dalam seremoni, tetapi dihidupi dalam keseharian.
Ketiga, kemitraan antara pemerintah, akademisi, tokoh adat, pelaku wisata, dan lembaga internasional seperti UNESCO perlu diperkuat. Model tata kelola partisipatif inilah yang akan menciptakan keseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatan.
Keempat, inovasi berbasis nilai lokal harus didorong. Pelestarian tidak harus selalu konservatif. Teknologi digital, media sosial, hingga platform metaverse bisa dimanfaatkan untuk mendokumentasikan, mempromosikan, dan menghidupkan kembali warisan Bali kepada dunia global, dengan tetap menjaga substansi dan etikanya.
Pelatihan dan pemberdayaan digital bagi para pelaku seni, khususnya penari dan pengrawit gamelan, sangat penting agar mereka tidak hanya menjadi objek dokumentasi, tetapi juga subjek yang aktif mengelola dan memonetisasi karyanya secara mandiri. Digitalisasi yang inklusif dan berkeadilan dapat menjadi jalan baru untuk meningkatkan kesejahteraan seniman sekaligus memperluas jangkauan warisan budaya Bali secara berkelanjutan..
Tiga elemen UNESCO yang berasal dari Bali—Subak, Geopark Batur, dan Tari Tradisional—adalah wajah Bali di mata dunia. Mereka bukan sekadar bagian dari sejarah, tetapi juga harapan bagi masa depan. Menjaganya bukan hanya soal mempertahankan status UNESCO, tapi juga soal menjaga martabat, identitas, dan keberlanjutan Bali itu sendiri.
Refleksi 75 tahun keanggotaan Indonesia di UNESCO harus menjadi momentum menegaskan kembali komitmen Bali dalam merawat warisan dunia ini dengan kesungguhan, kreativitas, dan gotong royong lintas generasi. Sebab, warisan tak akan berarti jika hanya dirayakan, tetapi tidak dirawat.
Penulis, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI Untuk UNESCO, Staf Pengajar Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga