
TABANAN, BALIPOST.com – Penyegelan belasan akomodasi wisata di kawasan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih oleh Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang (Trap) DPRD Bali berbuntut panjang. Para pengelola usaha yang terdampak melakukan aksi protes tak biasa pada Kamis (4/12), dengan memasang lembaran seng di area persawahan, tepat di salah satu titik pandang favorit wisatawan.
Pantauan di lokasi, sedikitnya 15 lembar seng berdiri mencolok di antara hamparan sawah berundak Jatiluwih. Seng-seng itu memantulkan cahaya matahari sehingga menimbulkan silau dan mengganggu pengalaman visual wisatawan.
Pemilik Warung Pondok Makan Sunari Bali, Nengah Darmika Yasa mengatakan, aksi pemasangan seng merupakan bentuk kekecewaan atas tindakan penyegelan yang dianggap terburu-buru dan tanpa solusi.
Ia menuturkan bahwa hasil bertani di Jatiluwih tidak mencukupi kebutuhan hidup sehingga pembangunan akomodasi wisata di lahan pribadi dilakukan untuk menambah penghasilan keluarga.
“Dengan hasil bertani kami tidak dapat banyak. Usaha ini yang menopang hidup keluarga, tapi langsung disegel tanpa solusi,” keluhnya.
Darmika mengaku tidak pernah menerima SP3, yang seharusnya menjadi surat peringatan terakhir sebelum tindakan penutupan dilakukan.
Ia menambahkan bahwa SP1 dan SP2 telah ditindaklanjuti, termasuk pertemuan dengan Pemkab Tabanan dan pengajuan rekomendasi kepada Kementerian ATR/BPN terkait pembebasan zona Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Namun sebelum rekomendasi itu turun, bangunan sudah lebih dulu disegel. “SP3 baru hari ini saya terima, tapi penyegelan sudah dilakukan lebih cepat,” ujarnya.
Situasi ini terasa ironis bagi para pengelola karena selama ini mereka tetap membayar pajak rumah makan, serta pajak lahan pertanian.
Sementara itu, kontribusi yang diterima dari pengelola DTW Jatiluwih dinilai sangat minim, yakni hanya pupuk 1 kilogram per are setiap enam bulan dan bantuan bibit padi. Darmika menyebut aksi pemasangan seng akan dilanjutkan dan hingga kini sudah terpasang 15 lembar, dengan rencana penambahan 20 lembar lagi di area sawah.
Keluhan serupa juga disampaikan Wayan Kawiyasa, yang mempertanyakan mengapa bangunan di lahan pribadi yang telah menyumbang pendapatan daerah melalui pajak justru dipersulit. Ia berharap pemerintah memberikan solusi yang adil. “Kalau memang harus ditutup, pemerintah hendaknya menjamin kehidupan petani di Jatiluwih,” tegasnya.
Sementara itu, mantan Manajer Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, I Nengah Sutirtayasa menegaskan bahwa konsep dasar (blueprint) DTW Jatiluwih adalah kolaborasi antara pertanian dan pariwisata sehingga masyarakat harus dilibatkan dalam penataannya.
“Bercermin dari itu seharusnya pemerintah memfasilitasi situasi ini dengan memberi solusi. Saya berharap pemerintah melakukan moratorium agar ada kebijakan bagi akomodasi yang sudah ada di Jatiluwih,” kata Sutirtayasa yang menjabat dari periode 2013 sampai 2023.
Sutirtayasa juga menyoroti bahwa aturan yang kini dijadikan dasar penertiban baru terbit pada 2023, sedangkan sebagian besar akomodasi sudah berdiri jauh sebelum aturan itu berlaku.
Ia menekankan bahwa dukungan masyarakat sangat penting karena dari sekitar 900 KK di Jatiluwih, sekitar 60 persen merupakan pemilik sawah hak milik yang menjadi bagian dari objek pariwisata. “Wajar jika masyarakat ikut terlibat dalam pengelolaan pariwisata, karena mereka pemilik lahannya,” tandasnya.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa pada 2016 pernah terbit SK Bupati Tabanan yang memberikan moratorium, namun dengan penyegelan ini berarti kebijakan itu tidak dijalankan. Begitu pula dengan rekomendasi dari Kementerian ATR/BPN yang disebut sudah turun di pemda, namun belum diimplementasikan.
Menurutnya, penyegelan ini juga berdampak besar terhadap tenaga kerja lokal. Dari 13 akomodasi yang ditutup, diperkirakan sekitar 300 pekerja dari Jatiluwih dan wilayah penyangga berpotensi kehilangan mata pencaharian. (Ngurah Manik/bisnisbali)










