
TABANAN, BALIPOST.com – Ketekunan I Made Rowi Mardika (35), warga Banjar Pekilen, Desa Selanbawak, Kecamatan Marga, mengantarnya menjadi salah satu perajin gitar lokal yang karyanya diminati hingga mancanegara. Bermula dari eksperimen pribadi delapan tahun lalu, gitar berlabel MRM (Made Rowi Mardika) kini telah sampai ke berbagai daerah di Indonesia serta dibawa oleh pembelinya hingga ke Belanda dan Australia.
Menurut Rowi, ketertarikannya membuat gitar dimulai dari kegemarannya bermain musik dan mengamati karakter suara tiap gitar. Ia belajar secara otodidak melalui YouTube, melewati banyak percobaan dan kegagalan sebelum akhirnya yakin produknya layak dijual. “Awalnya hanya penasaran. Setelah hasilnya lumayan, baru saya berani komersilkan,” katanya.
Lanjut dikatakannya, untuk pesanan gitar MRM banyak datang dari platform daring, mulai dari Jakarta, wilayah Sumatra, berbagai kabupaten di Bali seperti Tabanan, Gianyar, Karangasem, dan Singaraja. Bahkan gitar buatannya pernah dibeli warga Bali yang tinggal di Belanda serta masuk ke Australia melalui salah satu toko. “Itu bukan ekspor terencana, kebetulan ada yang bawa dan beli,” ujar Rowi ditemui di rumah produksinya, Kamis (27/11).
Dalam sebulan, Rowi mampu menghasilkan tiga gitar full solid hingga delapan gitar top solid. Namun ia mengaku kini tidak aktif mempromosikan karena permintaan yang tidak stabil. Meski begitu, dirinya tetap menerima pesanan.
Rowi memproduksi gitar akustik dan klasik dengan waktu pengerjaan 25 hari untuk jenis full solid dan sekitar 15 hari untuk top solid. Harga gitar buatannya relatif terjangkau. Full solid dibanderol Rp2 juta sampai Rp2,5 juta. Full solid plus preamp seharga Rp2,3 juta hingga Rp2,7 juta. Sementara untuk top solid dijual seharga Rp1 juta sampai Rp1,8 juta.
Ia menjelaskan, gitar full solid memiliki kualitas suara yang semakin matang seiring bertambahnya usia kayu, sedangkan top solid memiliki karakter berbeda karena hanya bagian depannya yang menggunakan kayu solid. Rowi menggunakan aneka jenis kayu seperti mahoni, sonokeling, hingga cyprus impor dari Kanada dan Jerman.
Kayu lokal Bali seperti cepaka dan nangka juga menjadi favoritnya karena karakter suaranya yang khas. Semua bahan diperolehnya secara online. “Setiap kayu punya karakter masing-masing, tinggal selera pemain,” ujarnya.
Kesulitan utama dalam pembuatan gitar adalah menjaga presisi. Kesalahan kecil pada bracing atau neck dapat memengaruhi kenyamanan pemain. Tantangan lain adalah proses finishing yang dikerjakan di ruang terbuka. Setelah finishing, gitar harus diangin-anginkan sekitar seminggu sebelum siap digunakan. “Kalau cuaca buruk, finishing bisa gagal. Kilap cat bisa berubah,” tuturnya.
Lulusan Pendidikan PPKN Universitas Saraswati ini berharap suatu saat bisa kembali memproduksi gitar secara maksimal. Untuk saat ini, ia tetap membuka pesanan sembari menekuni pekerjaannya sebagai tukang ukir. “Kalau ada pesanan, saya siap kerjakan,” tegasnya. (Puspawati/balipost)










