
DENPASAR, BALIPOST.com – Memasuki 2026, perekonomian Bali diperkirakan tetap berada dalam fase ekspansif dengan fondasi pemulihan yang kuat sepanjang 2025.
Guru Besar FEB Undiknas Denpasar, Prof. Dr. I.B. Raka Suardana di Denpasar menyampaikan, tren pertumbuhan ekonomi menunjukkan prospek positif. “BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan II-2025 mencapai 6,70% (q-to-q), momentum ini menjadi modal penting memasuki 2026. Pada triwulan III/2025 ekonomi Pulau Dewata tumbuh 5,88 persen (yoy), berada di atas rata-rata nasional dan menempati peringkat keempat secara nasional,” ujarnya, Jumat (14/11).
Sektor pariwisata tetap menjadi penopang utama, dengan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada Januari–Juli 2025 mencapai 3,98 juta atau naik 12,46% dibanding periode sebelumnya. “Proyeksi 2026 mengindikasikan penguatan di sektor pariwisata, perdagangan, dan akomodasi. Meski demikian, risiko tetap muncul dari dinamika global dan ketergantungan Bali pada pariwisata. Ekonomi kreatif dan digital menjadi penopang baru yang semakin signifikan,” jelas Prof. Raka.
Memasuki 2026, investasi Bali diprediksi meningkat seiring cerahnya prospek ekonomi nasional yang diperkirakan tumbuh 5,33%. Prof. Raka menyebut, aliran investasi diperkirakan mengarah pada pariwisata berkelanjutan, properti hijau, energi terbarukan, dan sektor digital.
Stabilnya kunjungan wisman lebih dari 600 ribu kunjungan per bulan pada Mei 2025 menjadi magnet bagi investor, khususnya pada segmen premium. “Tantangan tetap ada, mulai dari tata ruang, beban infrastruktur, hingga kepastian regulasi. Namun minat investor terhadap green investment diperkirakan terus meningkat,” ungkapnya.
Dengan adanya indikasi penurunan alokasi Transfer ke Daerah (TKD) pada 2026, Bali diperkirakan memasuki fase efisiensi fiskal. Meski demikian, peluang tetap terbuka melalui pengembangan desa wisata, UMKM kreatif, digitalisasi layanan, dan modernisasi pertanian. Realisasi pendapatan daerah yang mencapai Rp9,39 triliun hingga April 2025 menjadi ruang bagi optimalisasi penerimaan daerah.
“Tantangannya ada pada keterbatasan belanja pemerintah, perlambatan proyek infrastruktur, serta kesenjangan wilayah. Pola pembiayaan kreatif seperti KPBU dan kemitraan swasta akan menjadi kunci menjaga stabilitas ekonomi Bali,” kata Prof. Raka.
Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (FEB Unud) Putu Krisna Adwitya Sanjaya, S.E., M.Si. menilai, sektor tersier seperti pariwisata dan belanja pemerintah masih menjadi lokomotif utama ekonomi Bali.
“Bali harus segera berbenah untuk memperkuat sektor pertanian dalam arti luas agar terkoneksi dengan sektor lainnya. Selain itu, persoalan energi, kemacetan, dan sampah menjadi pekerjaan rumah serius untuk masa depan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala OJK Bali, Kristrianti Puji Rahayu, mengungkapkan bahwa penyaluran kredit perbankan di Bali menunjukkan tren positif. Pada Juli 2025, kredit perbankan mencapai Rp116,26 triliun atau tumbuh 6,50% yoy, didorong kuat oleh kredit investasi yang naik Rp4,51 triliun (13,61% yoy). “Peningkatan ini mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap prospek ekonomi Bali,” ujarnya.
Dirut Bank BPD Bali I Nyoman Sudharma juga menyampaikan optimisme memasuki 2026. Bank daerah tersebut menargetkan pertumbuhan kredit di atas 9% dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) lebih dari 8%. Hingga Oktober 2025, penyaluran kredit BPD Bali tercatat mencapai Rp24,76 triliun atau tumbuh 9,33% yoy dan telah melampaui target 100,50%.
Sebanyak Rp12,59 triliun atau 50,85% dari total kredit disalurkan kepada sektor UMKM melalui produk seperti KUR, Kredit Usaha Alsintan (KUA), Sidi Kumbara, dan berbagai kredit mikro lainnya.
Strategi 2026 dipusatkan pada penguatan intermediasi, pemberdayaan UMKM, dan pengelolaan dana masyarakat yang lebih efisien. (Suardika/bisnisbali)










