
GIANYAR, BALIPOST.com – Pengadilan Negeri Gianyar menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh Ni Luh Putu Panca Tresnawati, seorang wiraswasta asal Jembrana yang menetap sementara di Badung, Senin (10/11).
Ia sebelumnya menggugat Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Gianyar atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana perbantuan pencurian dan/atau penadahan.
Kasus ini dilaporkan Yoo Jaehyun (44), suami dari artis Korea, Jeon Hye Bin, yang mengaku kehilangan uang ratusan juta di Bali saat berlibur.
Dalam postingan Instagramnya tertanggal 2 Oktober 2025, pemain drama “Another Miss Oh” itu mengisahkan telah kehilangan uang sekitar 15 juta KRW atau Rp 177 juta gara-gara kartu kreditnya dicuri saat jalan-jalan di kawasan Ubud.
Jeon Hye Bin mengunggah peta Ubud dengan tulisan, “Harap berhati-hati. Kartu kredit saya dicuri di area ini, dan sekitar 15,0 juta KRW (Rp 177 juta) ditagihkan. Semua orang di Ubud dan yang berencana untuk berkunjung ke sini dalam waktu dekat, harap berhati-hati. Kejadian ini terjadi dalam 10 menit setelah kartu hilang,” tulis Jeon Hye Bin, dikutip Kamis (2/10).
Kembali pada praperadilan tersangka dari kasus ini, sidang dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2025/PN Gin yang dipimpin oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri Gianyar, Oktavia Mega Rani memutuskan menolak seluruh permohonan pemohon dan menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Panca Tresnawati oleh Polres Gianyar telah sah menurut hukum.
Permohonan praperadilan ini bermula dari kasus dugaan penyalahgunaan mesin gesek EDC (Electronic Data Capture) yang terdaftar atas nama usaha milik Ni Luh Putu Panca Tresnawati.
Dalam permohonannya, Panca menjelaskan bahwa mesin EDC miliknya mengalami kerusakan, sehingga ia meminjam dua unit mesin EDC lain dari rekannya, I Gusti Ngurah Agung Asmara, untuk melayani transaksi bisnisnya.
Namun, beberapa waktu kemudian, seorang rekan bisnis lain bernama I Made Putra Suarjaya alias Pak Kadek meminjam dua mesin EDC tersebut untuk digunakan dalam transaksi jual beli telur. Panca mengaku tidak mengetahui secara pasti bagaimana dan untuk tujuan apa mesin itu kemudian digunakan.
Tak lama setelah peminjaman, terjadi sejumlah transaksi mencurigakan menggunakan mesin EDC tersebut dengan nilai mencapai puluhan juta rupiah.
Transaksi ini diduga terkait dengan aktivitas kejahatan skimming kartu kredit yang melibatkan warga negara asing asal Mongolia.
Panca menegaskan dirinya tidak mengetahui dan tidak terlibat langsung dalam kejahatan tersebut, bahkan menyebut telah bersikap kooperatif dengan datang sendiri ke Polres Gianyar untuk memberikan keterangan sebagai saksi.
Namun, dalam waktu singkat, statusnya naik menjadi tersangka dan ia kemudian ditahan oleh penyidik Satreskrim Polres Gianyar.
Ia merasa hak asasinya dilanggar karena pemeriksaan dilakukan di luar jam kerja, serta penyitaan terhadap telepon genggam dan mesin EDC dilakukan tanpa surat izin pengadilan. Atas dasar itu, ia mengajukan praperadilan agar penetapan tersangkanya dinyatakan tidak sah.
Dalam sidang, kuasa hukum Ni Luh Putu Panca Tresnawati menilai tindakan penyidik Polres Gianyar tidak sesuai prosedur. Menurutnya, penetapan tersangka dilakukan tanpa dua alat bukti yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Selain itu, penyitaan terhadap barang milik pemohon dilakukan tanpa izin pengadilan, dan penyidikan disebut dilakukan di luar wilayah hukum Polres Gianyar, karena pengiriman mesin EDC berlangsung di wilayah Badung–Denpasar.
Sementara itu, pihak Termohon (Polres Gianyar) yang diwakili oleh tim hukum dari Bidang Hukum Polda Bali menegaskan bahwa seluruh proses penyelidikan, penyidikan, dan penetapan tersangka telah sesuai hukum acara pidana.
Polisi menjelaskan bahwa perbuatan Panca bukan sekadar kelalaian, melainkan sengaja meminjamkan mesin EDC miliknya kepada pihak lain untuk digunakan dalam transaksi yang ternyata melanggar hukum.
Lebih jauh, Panca diketahui menerima imbalan sebesar Rp1,3 juta dari hasil peminjaman mesin tersebut, yang menunjukkan adanya unsur kesengajaan dan motif ekonomi.
“Tanpa mesin EDC milik pemohon, pelaku utama tidak akan dapat melakukan kejahatan tersebut,” ujar pihak Polres dalam jawabannya.
Polisi juga menegaskan telah memiliki dua alat bukti yang sah, termasuk keterangan 14 saksi dan sejumlah dokumen kerja sama antara Panca dan salah satu bank BUMN, yang membuktikan bahwa mesin EDC tidak boleh dipindahtangankan.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa obyek praperadilan hanya memeriksa aspek formil, bukan menilai benar atau tidaknya perbuatan pidana yang disangkakan. Dari bukti dan keterangan yang diajukan, hakim menilai penyidik Polres Gianyar telah memenuhi syarat formil penetapan tersangka, yakni adanya minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Hakim juga menolak dalil pemohon yang menyebut penyidikan dilakukan di luar kewenangan wilayah hukum. Berdasarkan penjelasan ahli yang dihadirkan di persidangan, locus delicti atau tempat terjadinya tindak pidana berada di wilayah Gianyar, karena transaksi pencurian dengan pemberatan yang menggunakan mesin EDC tersebut terjadi di Ubud, Kabupaten Gianyar.
“Dengan demikian, tindakan penyidik Polres Gianyar sudah tepat dan sah secara hukum,” demikian salah satu poin pertimbangan hakim.
Selain itu, hakim juga menilai penyitaan barang bukti seperti telepon genggam dan mesin EDC telah memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri Gianyar, sehingga dalil pelanggaran prosedur penyitaan yang diajukan pemohon tidak terbukti.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, hakim tunggal Pengadilan Negeri Gianyar memutuskan untuk menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh Ni Luh Putu Panca Tresnawati. Dengan demikian, penetapan tersangka oleh penyidik Polres Gianyar dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini sekaligus menegaskan bahwa proses penyidikan terhadap dugaan keterlibatan Panca dalam jaringan kejahatan skimming kartu kredit lintas wilayah tetap dapat dilanjutkan oleh penyidik Polres Gianyar. (Wirnaya/balipost)










