
DENPASAR, BALIPOST.com – Waspada! Mungkin inilah kata yang tepat untuk mengingatkan generasi muda Bali membudayakan hidup sehat. Kini, di Bali tak hanya menghadapi ancaman HIV/AIDS, tuberculosis (TB) dan sakit jantung, melainkan Diabetes Melitus (DM).
Ledakan penderita DM juga mengkhawatirkan. Bahkan, penyakit ini mulai menghantui generasi muda produktif.
Laporan dari instansi terkait menyebutkan kasus DM atau kencing manis di Bali setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota se-Bali dalam 2 tahun terakhir jumlahnya meningkat drastis.
Ini, menurut tenaga teknis di bidangnya merupakan hal yang mengkhawatirkan. Disebutkan, jika pada tahun 2023 jumlah penderita DM mencapai 30.856 orang, ledakannya pada tahun 2024 mencapai 45.710 orang. Lonjakannya mencapai 14. 854 penderita
baru.
Mirisnya lagi, tahun 2025 ini berdasarkan hasil skrining gula darah yang dilakukan dinas kesehatan (Dinkes) di setiap kabupaten/kota di Bali per 7 Mei 2025 ditemukan puluhan remaja rentang usia 15-17 tahun terdeteksi mengidap diabetes. Angka ini belum ditambah usia di atasnya.
Remaja Bali yang terdeteksi mengalami diabetes paling banyak ditemukan di Kabupaten Klungkung sebanyak 14 orang. Disusul Badung sebanyak 7 orang, Gianyar dan Denpasar masing-masing 1 orang. Ada pula sebanyak 259 remaja di Bali yang terdeteksi mengalami gula darah pre-diabetes.
Kadiskes Provinsi Bali, dr. I Nyoman Gede Anom mengatakan ledakan angka penderita diabestes ini layak diwaspadai. Ia mengaku belum mengetahui secara pasti faktor penyebab remaja Bali tersebut mengidap diabetes.
Pihaknya berjanji akan berkoordinasi dengan pelayanan kesehatan (yanskes) yang memberikan pelayanan atau perawatan terhadap remaja tersebut.
“Untuk mengetahuinya tentu harus berkoordinasi dengan yankes yang memberikan pelayanan atau perawatan diabetes melitus pada anak dan ditelusuri atau dilakukan wawancara mendalam terkait berbagai faktor risiko yang ada. Ini harus dilakukan penelitian yang panjang, terkait pola hidup, faktor keturunan, pola makan, riwayat penyakit, dan lain-lain,” ujar dr. Gede Anom, Jumat (23/5).
Anom mengimbau para remaja di Bali untuk rajin mengecek kondisi kesehatannya secara teratur. Ia juga meminta warga disiplin mengatur pola hidup sehat dengan CERDIK. Yaitu, Cek kesehatan secara teratur, Enyahkan asap rokok, Rajin aktivitas fisik, Diet seimbang, Istirahat yang cukup, Kelola Stres. “Kami tetap lanjut lebih banyak skrining dan edukasi untuk menerapkan pola hidup sehat,” tandasnya.
Meningkat Signifikan
Merebaknya penderita Diabetes Melitus (DM) juga direspons Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universi-
tas Warmadewa (FKIK Unwar), dr. Putu Ayunda Trisnia, Sp.A.,. Ia mengungkapkan kasus DM atau kencing manis khususnya pada usia di bawah 18 tahun ditemukan mengalami peningkatan yang signifikan.
Berdasarkan laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah terjadi peningkatan kasus anak terdiagnosis DM sebanyak 70
kali lipat pada tahun 2023 dibanding tahun 2010. Diungkapkan, saat ini tercatat 1.400-an anak dengan DM Tipe-1 pada tahun 2023.
Terjadi peningkatan kasus DM tipe-1 pada anak dan remaja dari 3,88 menjadi 28,19 per 100 juta penduduk pada tahun 2000 dan
2010. Dikatakan, berdasarkan hasil penelitian oleh Yuliantari, dkk., di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah selama rentang waktu
Januari 2020 – Desember 2022 didapatkan 27 kasus DM pada anak di bawah 18 tahun dengan komplikasi ketoasidosis diabetikum, 12 kasus diantaranya merupakan kasus DM baru.
Dijelaskan bahwa DM pada anak dapat dikelompokkan menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, dan DM monogenik. Umumnya DM tipe
1 lebih banyak ditemukan pada anak-anak.
Namun, akhir-akhir ini kasus DM tipe 2 pada anak juga mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan prevalensi
obesitas. DM tipe 2 erat hubungannya dengan resistensi insulin. Kondisi ini sering dikaitkan dengan gaya hidup yang kurang
sehat, konsumsi gula berlebih, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan riwayat DM tipe 2 pada keluarga.
“Penyakit diabetes mellitus tidak semua menunjukkan gejala, khususnya pada awal sakit. Bahkan penyakit ini baru diketahui
setelah timbul komplikasi, seperti ketoasidosis diabetikum, penyakit kaki diabetes, maupun komplikasi lainnya,” jelasnya.
Ayunda mengungkapkan, ada beberapa faktor yang dicurigai turut berperan dalam peningkatan kasus DM pada anak. Anak
usia sekolah, apalagi remaja sudah memiliki otonomi dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Saat ini banyak tersediai plihan makanan, baik itu makanan sehat dan makanan yang kurang bergizi.
Pilihan untuk mengonsumsi makanan kemasan, makanan rendah serat, makanan tinggi kalori dan tinggi gula yang tidak diikuti dengan peningkatan aktivitas fisik turut berperan dalam meningkatkan risiko obesitas pada remaja. Penggunaan gawai berlebihan juga meningkatkan perilaku sedentary life (kurang aktivitas fisik), sehingga meningkatkan risiko obesitas dan pada akhirnya berisiko terjadi penyakit DM.
Dengan adanya peningkatan kasus DM pada anak, semua pihak terkait baik di tingkat keluarga, sekolah, maupun pemerintah, hendaknya berkolaborasi dalam mencegah penyakit ini. Penyakit DM tipe 2 adalah penyakit yang bisa dicegah. Perlu dilakukan upaya screening kesehatan rutin, meningkatakan pengetahuan masyarakat melalui media massa (termasuk radio dan media sosial) dan penyuluhan di sekolah atau banjar, serta mengkampanyekan pola hidup yang sehat dalam kehidupan
sehari-hari.
Sebagai dokter spesialis anak, pihaknya menyambut baik segala upaya skreening kesehatan yang dilakukan Dinkes se-Bali, dalam hal ini pemeriksaan gula darah pada remaja di Bali. Hasil deteksi
dini gula darah pada kelompok usia 15-17 tahun di Provinsi Bali pada Mei 2025, tertinggi ditemukan di Kabupaten Klungkung, sebanyak 113/544 peserta.
Hasil ini tentunya membutuhkan tindak lanjut karena diagnosis DM tidak bisa ditegakkan dengan satu pemeriksaan saja. Saat melakukan pemeriksaan diharapkan anak dalam kondisi optimal (tidak sedang sakit maupun stress), alat pemeriksaan yang digunakan juga sudah terbukti kesahihannya.
Apalagi, pemeriksaan gula darah sewaktu di atas batas normal, perlu ditindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan gula darah
puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang terganggu. Pemeriksaan lab diikuti dengan evaluasi gejala klinis yang mengarah ke diabetes mellitus, seperti sering haus, sering lapar, banyak makan, sering berkemih pada malam hari, dan penurunan berat badan, sehingga sebaiknya kepada remaja tersebut disarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan di fasilitas kesehatan yang memadai. (Ketut Winata/balipost)