Ilustrasi. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah kemegahan upacara Hindu Bali, satu ritual kerap menarik perhatian—baik karena tampilannya yang dramatis maupun maknanya yang sering disalahpahami.

Ritual itu adalah Tabuh Rah, pertarungan ayam yang meneteskan darah ke bumi sebagai bentuk persembahan kepada Bhuta Kala, kekuatan alam yang tidak terlihat namun diyakini nyata.

Bagi sebagian umat, Tabuh Rah adalah warisan leluhur yang penuh makna spiritual. Namun di sisi lain, tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai celah untuk perjudian terselubung.

Di antara pro kontra pandangan ini, Tabuh Rah terus dipertahankan, diperdebatkan, dan ditafsirkan ulang.

Untuk memahami Tabuh Rah secara utuh, kita perlu menengok kembali akar tradisi ini dalam lontar-lontar suci dan konteks pelaksanaannya dalam yadnya umat Hindu Bali.

Baca juga:  Putra Mantan Bupati Gianyar Berpulang

Berikut tujuh hal penting tentang Tabuh Rah yang dirangkum dari berbagai sumber:

1. Apa itu Tabuh Rah?

Tabuh Rah adalah ritual persembahan darah dalam tradisi Hindu Bali, biasanya melalui adu ayam (tajen). Tujuannya adalah mengusir pengaruh negatif dan memohon keselamatan. Kata “tabuh” berarti menabur/memberi, sedangkan “rah” berarti darah. Ini merupakan bagian dari Bhuta Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada makhluk halus (Bhuta Kala) agar tidak mengganggu manusia.

2. Sejak Kapan Tradisi Ini Ada?

Tabuh Rah diyakini berasal dari era pelarian orang Majapahit ke Bali sekitar tahun 1200-an. Seperti berbagai upacara Hindu Bali lainnya, tradisi ini tumbuh dalam kerangka menjaga keseimbangan antara manusia dan jagat raya.

Baca juga:  Sukmawati Mohon Maaf, DPR Minta Akhiri Pro-Kontra Puisi "Ibu Indonesia"

3. Lontar-Lontar Kuno Jadi Dasar Pelaksanaan

Lontar Siwa Tatwa Purana dan Yadnya Prakerti menyebut bahwa saat tilem Kasanga, Dewa Siwa mengadakan yoga dan umat wajib mempersembahkan yadnya, termasuk pertarungan ayam tiga babak sebagai persembahan suci yang lengkap dengan upakara.

4. Kenapa Harus Darah?

Darah dipercaya memiliki kekuatan magis dan spiritual. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai persembahan langsung kepada Bhuta Kala. Binatang yang dikorbankan diyakini mengalami kenaikan derajat dalam siklus reinkarnasi.

5. Tajen, Perang Satha, dan Simbolisme

Tajen atau perang satha dilakukan dalam tiga babak (telung perahatan)—angka yang dianggap sakral sebagai simbol awal, tengah, dan akhir. Dilengkapi dengan perlengkapan magis seperti kemiri (simbol bintang) dan telur (simbol bulan).

Baca juga:  Bedakan! Tajen dan Tabuh Rah

6. Bukan Sembarang Tajen, Tapi Berdasar Bhuta Yadnya

Tabuh Rah bukan sembarang judi sabung ayam. Ia hanya boleh dilaksanakan dalam konteks upacara besar seperti Caru Panca Kelud, Caru Rsi Ghana, Tawur Agung, dan Eka Dasa Rudra. Pada konteks ini, tajen adalah alat upacara, bukan ajang taruhan.

7. Di Mana Letak Pro dan Kontranya?

Meski secara teologis dan budaya memiliki legitimasi, praktik Tabuh Rah sering kali disalahgunakan menjadi sabung ayam komersial dengan taruhan besar. Di sinilah muncul perdebatan: antara menjaga tradisi atau melanggengkan perjudian terselubung. (Pande Paron/balipost)

BAGIKAN