Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Sejak 2015, setiap 12 Oktober dirayakan sebagai Hari Museum Nasional. Akar dari perayaan itu adalah pertemuan permuseuman se-Indonesia di Yogyakarta pada 12-14 Oktober 1962.

Sejarah tersebut menjadi dasar penetapan hari museum nasional yang disahkan pada Musyawarah Museum se-Indonesia di Malang pada 26-28 Mei 2015. Sementara itu, setiap 18 Mei, sejak 1977, dirayakan sebagai Hari Museum International.

Tahun ini, tema peringatan International Museum Day (IMD) 2022 adalah The Power of Museum. Perhelatan hari museum nasional memiliki arti penting bagi permuseuman di Indonesia.

International Council of Museums mendefinisikan museum sebagai institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda
nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, dan kesenangan.

Berdasarkan definisi ini, maka pengelolaan museum dapat menggunakan pendekatan social entrepreneurship. Entrepreneur menurut kamus Oxford dimaknai sebagai, “a person who undertakes an enterprise or business, with the chance of profit or loss.”

Baca juga:  Museum Soenda Ketjil, Pusat Edukasi Sejarah dan DTW Baru di Buleleng

Sementara itu, entrepreneur sendiri dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu business entrepreneur dan social entrepreneur. Perbedaan pokok keduanya utamanya terletak pada pemanfaatan keuntungan.

Bagi business entrepreneur keuntungan yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk ekspansi usaha, sedangkan bagi social entrepreneur keuntungan yang didapat (sebagian atau seluruhnya) diinvestasikan kembali untuk pemberdayaan “masyarakat berisiko”.

Tetapi keduanya sama-sama mengupayakan terus menerus inovasi, manajemen, efektivitas, mutu dan kompetensi. Fakta bahwa museum di Indonesia belum semaju museum yang ada di negara maju, perlu terobosan dari berbagai pihak untuk menjadikan museum di Tanah Air semakin maju.

Dibutuhkan sosok unreasonable, ‘orang-orang yang tidak masuk akal’ yang kreatif dan berani memajukan museum. Ardiwidjaja (2008) mengklasifikasikan permasalahan yang dihadapi museum di Tanah Air, pada dua ranah: intern dan ekstern.

Baca juga:  Museum Sunda Kecil Menjadi Ikon Andalan Wisata City Tour

Di pihak internal, terdapat kompleksitas fungsi museum yang tidak diimbangi profesionalitas SDM, belum mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi, peragaan koleksi museum tidak ditata secara modern, belum berkembang sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi masyarakat,
rendahnya kreatifitas program dan aktivitas museum, kurang memadainya data dan informasi terkait dengan koleksi, dan belum diintegrasikannya museum dalam sistem pendidikan nasional kita.

Gamal Albinsaid misalnya, seorang dokter yang berdomisili di Malang, sekaligus social entrepreneur dengan basis operasi di kota yang sama, mendapat penghargaan HRH The Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneur sebesar 50 ribu euro atau sekitar Rp822 juta yang diberikan langsung oleh Pangeran Charles beberapa tahun lalu.

Gamal yang dikenal lewat bisnis sosialnya berbasis kesehatan di bawah bendera “Indonesia Medika”, memiliki program andalan Klinik Asuransi Sampah, telah menyisihkan 511 wirausaha lainnya dari 90 negara. Pernyataan apresiatif Pangeran Charles atas program Klinik Asuransi Sampah itu menyelesaikan 2 persoalan sekaligus: masalah lingkungan dan kesehatan.

Baca juga:  Gedung Museum Lontar Dipastikan Berdiri Tahun Depan 

Unreasonable! Demikian respons kita atas kiprah dokter muda itu. Namun begitulah seorang wirausaha sosial, karyanya, bisnis sosialnya, selalu mengagumkan.

Contoh lain, Grup musik Slank mendirikan koperasi Slank (Slankops) di Jakarta, pertengahan Juli. Pendirian koperasi yang ditujukan untuk menolong komunitas Slankers (fans Slank) khususnya, dan juga terbuka untuk masyarakat umum, dari kesulitan
perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19 ini patut diapresiasi. Karya social entrepreneurship dan social entrepreneur harus semakin digalakkan.

Jangkauan isu kewirausahaan sosial itu tidak terbatas pada problem sosial tingkat kabupaten/kota, namun
menjadi persoalan kemanusiaan dan karena itu persoalan dunia. Pendekatan social entrepreneurship membutuhkan insan-insan kreatif dan unreasonable, menjadikan museum di Indonesia memiliki daya tarik, bertumbuh dan berkelanjutan.

Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *