Suasana sepi lalu lalang wisatawan dan kendaraan di Kuta Square, Badung saat pandemi COVID-19. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hampir 1,5 tahun dilanda pandemi COVID-19, kondisi pengusaha di Bali semakin terjepit hingga hampir mati. Akibatnya, banyak terjadi pengalihan kepemilikan dan penjualan aset pariwisata, seperti hotel dan vila, di Bali.

Para pemilik terpaksa menjual hotelnya karena kondisi makin tidak menentu, sementara kewajiban seperti listrik, BPJS dan cicilan bank terus menjepit. Berdasarkan survei Bank Indonesia KPw Bali ada 48 hotel di Bali yang dijual, 41 diantaranya hotel di Badung, 4 hotel di Denpasar, dan 3 hotel di Gianyar.

Dari 48 hotel tersebut, 19 hotel merupakan bintang 4, 14 hotel bintang 3, 8 hotel bintang 5, 7 hotel bintang 2. Sementara itu ada 7.940 usaha di Bali sudah tutup, ini dilihat dari jumlah wajib pajak yang berhenti membayarkan kewajibannya, baik itu permanen maupun sementara.

Rinciannya, di Buleleng ada 300 Wajib Pajak (WP) hotel dan 295 WP restoran yang tutup permanen, dan 240 WP hotel dan 85 WP restoran yang tutup sementara.

Di Bangli ada 43 WP hotel, 147 WP restoran yang tutup permanen. Di Gianyar ada 420 WP hotel dan 247 WP restoran yang tutup permanen serta 841 WP hotel dan 287 WP restoran yang tutup sementara.

Baca juga:  Hadapi Pasar yang Buas, Petani Bali Dilepas Tanpa Pendampingan

Di Badung ada 490 WP hotel dan 520 WP restoran yang tutup permanen dan 1.868 WP hotel dan 587 WP restoran yang tutup sementara. Di Denpasar ada 151 WP hotel dan 183 WP restoran yang tutup permanen dan 192 WP hotel dan 216 WP restoran yang tutup sementara. Di Klungkung ada 302 WP hotel dan 205 WP restoran yang tutup permanen dan 221 WP hotel dan 100 WP restouran yang tutup sementara.

Jika dipersentasekan, dari total WP yang ada di Buleleng, Badung dan Gianyar, 51 sampai 75 persen WP tutup, di Bangli dan Buleleng dari total WP yang ada lebih dari 75 persen tutup, dan di Denpasar 26 – 50 persen WP tutup.

Pengalihan Kepemilikan

Ketua Bali Tourism Board (BTB) IB. Agung Partha Adnyana, Kamis (29/7) mengatakan wajar jika kondisi penjualan atau pengalihan kepemilikan aset pariwisata terjadi di Bali. Pasalnya, kondisi pengusaha di Bali sekarang, hampir mati.

Baca juga:  Berjuang di Bisnis Kepariwisataan, Ini Sikap Yang Penting Dimiliki

Kesulitan yang paling terasa saat ini adalah pembayaran listrik dan BPJS, karena menurutnya listrik walaupun tidak terpakai tetap ada biaya abodemen yang harus dikeluarkan. Sedangkan kewajiban BPJS juga menjadi pemberat kedua bagi pengusaha. “Kalau dulu dari skema pengeluaran atau pembayaran yang tertinggi adalah gaji, sekarang justru listrik nomor 1, yang dulunya nomor 10,” ungkapnya.

Pengalihan aset menunjukkan memang kondisi yang kurang bagus, belum kondusif untuk perekonomian terutama bisnis pariwisata, perhotelan dan juga yang lainnya. “Jadi secara umum memang dengan berkurangnya pariwisata sampai 90 persen tidak dapat dihindari terjadi pengalihan aset, dalam bisnis wajar itu terjadi,” ujarnya.

Selain itu, stimulus fiskal yang digulirkan pemerintah belum dirasakan oleh pengusaha di Bali. Meski nilai stimulus yang digelontorkan untuk Bali cukup besar mencapai Rp 3,177 triliun, namun pengusaha pariwisata belum dapat mengakses stimulus fiskal tersebut.

“Belum bisa dirasakan oleh para pelaku industri pariwisata. Kami sadar pemerintah pusat juga sedang kesulitas dan tidak mudah menghadapi situasi ini. Jadi yang bisa dilakukan pemerintah memang fokus pada kesehatan, terutama jangan sampai overload yang sakit karena COVID-19,” ungkapnya.

Baca juga:  Ombak Besar Terjang Pantai Matahari Terbit

Kesulitan yang juga dialami pengusaha di Bali yaitu ketidakpercayaan perbankan pada pelaku usaha pariwisata karena belum melihat potensi pariwisata bergeliat. Hal itu terjadi karena pembukaan border internasional belum bisa dilakukan. “Sampai–sampai bank tidak percaya dengan kita. Mau pinjam uang, tapi mengembalikannya bagaimana, karena prospek usaha tidak ada,” ungkapnya.

Sementara itu, pembayaran kredit yang ada sebelum terjadi pandemi dinilai cukup terbantu dengan program restrukturisasi. Namun jika program ini tidak diperpanjang, maka akan terjadi tsunami penjualan aset besar–besaran. “Kalau tidak ada lagi, habis kita. Tapi Gubernur Bali sudah menulis surat pada Menkeu, OJK dan BI untuk diperpanjang periode restrukturisasinya,” ungkapnya.

Ia optimis setelah terbentuk herd immunity dengan target Agustus ditambah memperketat pintu masuk ke Bali terutama lewat darat, September pariwisata mulai bergeliat dan tahun 2020 mulai terjadi geliat ekonomi. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *