Focus Group Discussion (FGD) Tanggap Covid-19 di Warung 63 Denpasar, Rabu (10/2). (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Mimpi pariwisata bangkit dalam waktu dekat menemui jalan buntu. Pasalnya, dari indikator ekonomi dan data BPS Provinsi Bali menunjukkan indikator pemulihan ekonomi masih panjang. Satu-satunya cara agar ekonomi bangkit kembali adalah mengendalikan penyebaran Covid-19.

Triwulan III/2020 dianggap sebagai titik terendah dari kondisi ekonomi Bali dan pemulihan ekonomi Bali. Namun nyatanya hingga triwulan IV/2020, ekonomi Bali belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. “Secara qtq triwulan IV/2020 sudah masuk momentum perbaikan karena triwulan IV secara qtq tumbuh 0,94%. Tapi secara tahunan kita baru di bottom karena triwulan III/2020, pertumbuhan ekonomi Bali -12,32% dan triwulan IV/2020 tumbuh -12,21%. Jadi, belum bisa mengangkat ekonomi, karena model pertumbuhan ekonomi Bali adalah U shape. Untuk memastikan ada momentum perbaikan atau tidak, kita lihat nanti triwulan I/2021,” ujar Kepala Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Bali Kadek Muriadi Wirawan pada acara Focus Group Discussion (FGD) Tanggap Covid-19 di Warung 63 Denpasar, Rabu (10/2).

Menurut Muriadi Wirawan, kebangkitan pariwisata dan ekonomi Bali sepenuhnya tergantung dari penanganan pandemi, mengingat ekonomi Bali sangat bergantung dari pariwisata. Namun secara hitungan, dengan melihat perbandingan triwulan I/2021 dengan triwulan I/2020 atau yoy, akan lebih baik, pertumbuhan minus diprediksi tidak lebih dalam dari tahun sebelumnya.

Baca juga:  Brida Badung Sosialisasikan Indeks Inovasi Daerah

Banyak pihak yang beranggapan untuk beralih ke sektor non pariwisata seperti pertanian, namun nyatanya tidak mudah karena pertanian membutuhkan waktu untuk menghasilkan. Begitu juga pengembangan sektor lain, karena perlu dipikirkan target pasar. Selama ini pariwisata tidak hanya menjadi sumber pertumbuhan tapi juga pasar dari berbagai sektor usaha seperti pertanian, kerajinan, dan lain-lain.

Muriadi Wirawan mengingatkan perlunya memikirkan pasar dari produk yang dihasilkan karena melihat data inflasi yang menunjukkan harga barang turun atau deflasi. Ini berarti terjadi penurunan daya beli masyarakat.

Ketika daya beli masyarakat turun, kemudian ada sektor lain yang ditawarkan untuk diserap pasar, maka dampaknya tidak akan signifikan. “Secara bulanan, inflasi pada Desember naik karena ada Nataru dan hari raya. Tapi, secara tahunan inflasi Denpasar rendah 0,55%. Jadi, usaha baru bingung jual kemana. Ini adalah dampak ketergantungan pariwisata yang sangat besar,” katanya.

Pengamat ekonomi Prof. Ida Bagus Raka Suardana mengatakan, prediksi ekonomi sangat sulit saat ini karena Bali sangat mengandalkan pariwisata. Sementara pariwisata tergantung dari kedatangan orang. Apalagi, pariwisata identik dengan orang berkumpul yang bertentangan dengan protokol kesehatan (prokes). “Jadi, sangat wajar ekonomi Bali yang tergantung pada sektor tersier ini minus cukup dalam,” ungkapnya.

Baca juga:  Ketika Ekonomi Bali ‘’Berpuasa’’

Ia menambahkan, upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah pandemi harus selesai. Sampai kapan? Sulit diprediksi karena tergantung dari kedisiplinan masyarakat menerapkan prokes dan kelancaran vaksin. Namun, berdasarkan pengalaman menghadapi flu burung dan flu Spanyol yaitu membutuhkan waktu 2-3 tahun. “Bersyukur, saat ini vaksin sudah ada. Diharapkan tingkat kepercayaan masyarakat dunia kembali, maka geliat ekonomi akan tumbuh,” katanya.

Menurut Raka Suardana, Upaya bertahan lain yang bisa dilakukan adalah membelanjakan uang yang ada untuk menggerakkan konsumsi. Masyarakat yang memiliki uang diharapkan membelanjakan uangnya. Begitu juga pemerintah mengoptimalkan belanja pemerintah.

Rencana pembangunan proyek-proyek yang cukup besar telah dilakukan Bali bahkan menghabiskan dana triliunan. Jika uang ini beredar, ia menilai akan mampu menggeliatkan ekonomi. “Untuk sementara tidak bisa mimpi untuk pariwisata pulih, tidak bisa diharapkan kembali seperti dulu,” tegasnya.

Baca juga:  Perdana, Kepala BPOM RI Berangkatkan Ekspor Tolak Angin ke Filipina

Dari sisi perbankan, juga mengalami dampak yang sama seperti ekonomi Bali secara keseluruhan. Sekjen Perbarindo Bali Made Suarja mengatakan, bisnis BPR adalah bisnis sangat tergantung dengan situasi ekonomi makro dan mikro. Situasi ekonomi yang redup berpengaruh pada produksi BPR yang turun. Bahkan terjadi ketidakseimbangan antara penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dengan penyaluran kredit ke masyarakat.

Namun, kata dia, kepercayaan masyarakat pada BPR masih tinggi dengan adanya surplus DPK. Pengalaman dari situasi pandemi ini, ia mengajak masyarakat untuk tidak menunggu pariwisata pulih.

Lahan-lahan yang terbengkalai di desa dapat dimanfaatkan untuk mencari penghasilan, sambil menunggu pariwisata pulih. Ketika pariwisata pulih, lahan yang digarap akan menjadi sumber pendapatan baru bahkan destinasi wisata baru.

Selain itu, ide-ide kreatif untuk memunculkan usaha-usaha baru yang tetap bisa menjaga kesehatan masyarakat dan pasar tersedia perlu didorong. “BPR selalu hadir di tengah-tengah masyarakat untuk membantu dari sisi keuangan, mengingat segmen BPR merupakan usaha menengah ke bawah,” katanya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *