Warga membeli janur untuk membuat canang dan perlengkapan upakara saat perayaan Hari Kuningan. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hari raya suci Kuningan sangat terkait dengan rangkaian hari raya suci Galungan. Hari suci Galungan dimaknai sebagai sebuah kemenangan, sedangkan Kuningan dimaknai sebagai mempertahankan kemenangan itu untuk mencapai kemakmuran yang berlimpah-limpah (abundant).

Oleh karenanya, Kuningan disimbolkan dengan jejaitan. Sarana jejaitan yang paling khas pada Kuningan adalah Tamiang, Sampian Gantung, Ter, dan Endongan. Lalu, apa makna masing-masing jenis jejaitan tersebut?

Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita, menjelaskan Tamiang yang bentuknya bulat seperti perisai, dimaknai sebagai simbol perlindungan atau pertahanan diri dalam menghadapi dan mengarungi perputaran cakra kehidupan yang amat keras ini. Bentuknya yang bulat dipahami juga sebagai kambang Dewata Nawa Sanga yang merupakan penguasa 9 arah mata angin.

Baca juga:  Saat Umanis Kuningan, ODGJ Ngamuk Ambil Udeng Pemangku

Sementara itu, sampian gantung merupakan lambang penolak segala rintangan yang merintangi kehidupan untuk mencapai kemakmuran. Di dalam sampian gantung terdapat nasi kuning yang bermakna sebagai lambang kemakmuran.

Ter adalah simbol manah/pikiran. Simbol manusia hendaknya memfokuskan pikirannya hanya satu tujuan, yakni demi mencapai kemakmuran bukan yang lain.

Sedangkan endongan/kompek sebagai lambang wadah kemakmuran yang telah dicapai sebagai bekal yadnya untuk dipersembahkan lagi kepada Hyang para dewata, leluhur/betara-betari. Endongan juga sebagai tabungan investasi kekayaan bagi para sentana keturunan yang masih hidup dalam mengarungi kehidupan untuk menggapai cita-cita pengetahuan/jnana yang setinggi-tinggi yang bermental “endong” dan bermental pemenang.

Baca juga:  Dua Tahanan Kabur Masih Diburu, Satunya Residivis Pencurian

Apabila diamati, sarana dan makna yang terkadung dalam sarana upacara saat hari raya suci Kuningan lebih identik dengan alat-alat atau senjata dalam perang. “Dalam kehidupan ini hakekatnya memang seperti sebuah peperangan, bagaimana manusia selalu berusaha berperang melawan keadaan untuk menemukan jalan kehidupan yang lebih baik, baik dikehidupan dunia maupu diakhirat nantinya,” pungkas Sulinggih asal Griya Agung Sukawati, Gianyar ini, Jumat (28/2). (Ketut Winatha/balipost)

Baca juga:  Ditinggal Sembahyang, Warung Terbakar
BAGIKAN