Sejumlah pelajar SMP mengikuti UNBK pada pelaksanaan UNBK 2017. (BP/dok)

Oleh I Kadek Darsika Aryanta, S.Pd., M.Pd.

Tidak dapat dimungkiri bahwa sekarang ini kualitas siswa Indonesia masih pada taraf yang lebih rendah. Dari hasil tes PISA (Programme Internationale for Student Assessment) pada tahun 2015 Indonesia masih memiliki urutan 10 besar terbawah. Fenomena ini tentu perlu disikapi bersama.

Melihat dari indikator utama berupa rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia di bidang sains dan matematika memang mengkhawatirkan. Apalagi kalau yang dilihat adalah peringkat dibandingkan dengan negara lain. Tersirat kekhawatiran kita tentang kemampuan daya saing kita pada masa yang akan datang.

Jangankan dibandingkan dengan Singapura yang menjuarai semua aspek dan indikator penilaian, dengan sesama negara Asia Tenggara yang lain pun kita tertinggal. Pada hasil tes tersebut menggambarkan bagaimana kualitas literasi dan penguasaan konsep siswa kita masih perlu ditingkatkan sehingga perlu dilakukan suatu perubahan yang mendasar dari sisi proses pembelajaran dan juga dari sisi evaluasi.

Salah satu faktor rendahnya kemampuan matematika juga IPA dan bahasa adalah standar yang diberlakukan selama ini yang masih memakai kemampuan berpenalaran dasar atau lower order thinking skills (LOTS). Untuk mencapai dan mengejar kualitas pendidikan yang baik maka siswa perlu diintrodusir dengan soal pada penalaran yang tinggi. Proses evaluasi dilakukan oleh negara adalah ujian nasional.

Dari segi persiapan ujian nasional kali ini soal-soal yang digunakan harus bersifat HOTS sehingga ini perlu diantisipasi oleh siswa untuk terus belajar lebih baik lagi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti halnya pada tahun lalu, siswa yang mengunggah beberapa cuitan yang tidak baik di media sosial. Persiapan yang matang dari segi siswa, guru, dan pemerintah daerah untuk menggalakkan Ujian Nasional sehingga hasil yang diharapkan bisa menjadi lebih maksimal.

Keterampilan bernalar tingkat tinggi merupakan proses berpikir kompleks dalam menguraikan materi, membuat kesimpulan, membangun representasi, menganalisis, dan membangun hubungan dengan melibatkan aktivitas mental yang paling dasar. Keterampilan ini juga digunakan untuk menggarisbawahi berbagai proses tingkat tinggi menurut jenjang Taksonomi Bloom.

Pada proses pengembangan kognitif siswa proses bernalar tingkat tinggi siswa merupakan intisari dari proses berpikir kritis dan kreatif. Kedua proses ini sangat penting dimiliki oleh anak didik kita sehingga dapat bersaing di dunia global.

Baca juga:  TI sebagai Jangkar Kemajuan Lembaga Komunitas Adat

Ujian Nasional yang dilaksanakan pada tahun 2019 merupakan Ujian Nasional yang sedikit berbeda dengan Ujian Nasional terdahulu. Sekarang ini, konten soal yang diberikan dalam ujian adalah soal yang berorientasi pada High Order Thinking Skill atau sering disebut dengan HOTS. Seperti yang dilansir oleh laman www.kemendikbud.go.id, pada tahun ini Ujian Nasional diikuti lebih dari 8,2 juta siswa dar jenjang SMP, SMA, SMK sederajat.

Untuk komposisi tingkat kesukaran UN sekarang soal tingkat penalaran masih 10-15 %. Materi Ujian Nasional adalah materi yang harus diajarkan di sekolah, sehingga kalau ada sekolah yang belum mengajarkan materi Ujian Nasional tersebut maka diharapkan sekolah tersebut untuk terus menggalakkan siswanya untuk mengerjakan materi tersebut.

Ujian Nasional dengan menggunakan HOTS dimulai dari bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus juga berorientasi kepada nalar tinggi siswanya. Berawal dari proses pembelajaran inilah diharapkan nanti siswa mendapatkan pemahaman dan kompetensi yang unggul yang sesuai dengan keterampilan abad 21 (kolaborasi, kreatif, komunikasi, dan pemikiran kritis) untuk mencapai tuntutan dari revolusi industri 4.0.

Pada Ujian Nasional dengan melatih nalar tinggi siswa tidak sekadar menghafal tetapi memahami konsep. Soal berbasis HOTS tidak terlepas dari cakupan kemampuan menghafal, memahami konsep, menerapkan konsep untuk pemecahan masalah, analisis dan level lainnya.

Sekarang ini, sistem pembelajaran yang digunakan juga harus dengan merangsang nalar tinggi siswa sehingga guru-guru yang ada harus siap juga dengan pembelajaran HOTS. Pembelajaran dengan menggunakan orientasi HOTS akan memberikan dampak yang sangat baik bagi siswa untuk melatih bagaimana siswa tersebut berpikir tidak hanya pada satu tingkat saja tapi bagaimana siswa tersebut harus mampu berpikir ke arah yang lebih tinggi.

Pemikiran-pemikiran yang lebih tinggi ini harus dilatih kepada peserta didik agar siswa terbiasa untuk berpikir tidak hanya pada berpikir instan tetapi harus lebih pada bagaimana siswa tersebut berpikir menjadi lebih kreatif inovatif sehingga ke depannya mampu menghasilkan peserta didik yang siap di era revolusi industri 4.0.

Baca juga:  Merayakan Kebangkitan Pendidikan Bali

Pembelajaran abad 21 yang berorientasi HOTS merupakan suatu tuntutan yang harus segera di diterapkan oleh pemerintah dan juga guru-guru. Urgensi ini sangatlah penting karena kita sebagai guru harus siap dan juga harus menyiapkan peserta didik kita menghadapi tuntutan zaman globalisasi ataupun arah orientasi yang sangat kompleks di masa depan. Dengan pembelajaran yang berbasis HOTS dan juga evaluasi yang berbasis HOTS maka siswa akan terbiasa dan juga menghadapi dunia nyata yang kompleks yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Tujuan soal model HOTS dalam asesmen adalah untuk mendorong siswa melakukan penalaran tingkat tinggi sehingga tidak terpaku pada satu pola jawaban yang dihasilkan dari proses hafalan, tanpa mengetahui konsep keilmuan. Anak-anak kita tidak akan berdaya saing jika di sekolah tidak dilatih kecakapan hidup abad 21. Ujian Nasional moda HOTS juga dilakukan untuk mengejar keterbelakangan bangsa Indonesia di tingkat internasional.

Tidak dapat dimungkiri bahwa pembelajaran berbasis HOTS ini masih tergolong baru oleh guru-guru. Untuk itulah perlu adanya suatu pelatihan ataupun workshop yang dilakukan oleh sekolah agar guru menjadi terbiasa menyusun desain pembelajaran yang berorientasi HOTS. Selain pembelajaran dan evaluasi yang dilaksanakan, guru juga harus mendesain perangkat pembelajarannya menjadi lebih sempurna dengan merangsang dan mengarahkan siswa untuk bernalar lebih tinggi lagi sehingga siswa menjadi terbiasa dan juga siswa akan menjadi lebih paham dengan materi pembelajaran.

Penyiapan pelatihan guru ini juga harus terus didukung oleh pemerintah terutama Dinas Pendidikan baik di tingkat kabupaten maupun provinsi dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sehingga terjadi sinergi yang benar-benar baik antara institusi pendidikan dengan pemerintah. Pemerintah dalam ini memerlukan tenaga-tenaga pelatih dan juga sumber daya manusia yang baik untuk melatih guru-guru ini sehingga dunia pendidikan di Bali bisa menjadi lebih baik.

Untuk mendorong berkembangnya soal model HOTS ini, penskoran soal dilakukan dengan mempertimbangkan kompleksitas soal. Soal yang lebih kompleks diberi bobot yang lebih tinggi. Dengan demikian akan ada faktor pembeda antara siswa yang mampu menjawab soal model HOTS dan siswa yang hanya mampu menjawab soal yang mudah atau sedang.

Baca juga:  Perkembangan Global COVID-19, Strategi dan Antisipasi Bali Hadapi Situasi Terburuk

Untuk itu, perlu dilakukan penyelarasan antara proses pembelajaran dan penilaian dengan mengacu kepada standar nasional pendidikan. Semangat yang ada di dalam Kuriulum 2013 adalah untuk meningkatkan daya nalar siswa, termasuk berpikir kritis dan analitis.

Pengembangan pembelajaran berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat dikembangkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran dan meningkatkan kualitas anak-anak bangsa. Sebagai ujung tombak terdepan dalam pengembangan profesi berkelanjutan, pemerintah dapat memberdayakan komunitas GTK melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam mengembangkan pembelajaran berorientasi kepada keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Pelatihan yang menjadikan guru inti sebagai instruktur dan narasumber pelatihan menjadi nilai positif sekaligus titik lemah pada pola ini. Keterampilan teknis guru menjadi nilai positif pada pola ini sehingga pelatihan benar-benar menyentuh wilayah implementatif dan aplikatif. Sayangnya guru inti tidak dibekali kemampuan supervisi akademik sehingga lemah dalam proses pembinaan dan pendampingan secara berkelanjutan. Guru inti juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pendampingan secara terus-menerus karena tugas utamanya mengajar di sekolah masing-masing. Inilah titik lemah pola ini.

Akibatnya, pelatihan-pelatihan yang dilakukan berhenti pada tahap awal implementasi hasil pelatihan. Padahal, tahap ini biasanya baru pada usaha percobaan. Tidak ada penilaian berkelanjutan apakah implementasi hasil pelatihan benar-benar sesuai dengan yang dikehendaki kurikulum ataukah tidak. Karena tidak ada pendampingan jangka panjang, guru dalam menyusun soal HOTS hanya mengandalkan insting keguruannya. Akibatnya, banyak temuan praktik pembelajaran yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Pengembangan model HOTS dalam Ujian Nasional dapat menghasilkan anak-anak berkemampuan berpikir kritis, keterampilan berkomunikasi yang baik, berkolaborasi, berpikir kreatif, dan percaya diri. Dalam menyiapkan peserta didik yang siap bersaing menghadapi era milenium dan Revolusi Industri 4.0, guru harus mampu mengarahkan peserta didik untuk mampu berpikir kritis, analitis, dan mampu memberikan kesimpulan atau penyelesaian masalah.

Penulis, guru Fisika Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *