pengungsi
Proses belajar-mengajar di SMPN 3 Semarapura, Rabu (25/10). (BP/dok)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Bermula teknologi komputer yang begitu mengagumkan dan menjadi barang elit, mampu mengangkat gengsi sebuah sekolah dan menjadi satu kursus atau mata pelajaran yang sangat menggiurkan siswa. Lalu internet membayang-bayangi dunia sekolah, sebagai sumber baru. Juga mampu menjadi daya tarik dan seperti menawarkan hal baru dalam belajar yang terasa amat modern.

Pamor Google nyaris menggusur wibawa guru karena siswa dapat banyak pengetahuan dari mesin pencari ini. Google pula pemicu kematian perpustakaan sekolah. Lewat Google siswa merasa belajar sangat mudah, karena tugas-tugas sekolah dari guru tersedia di berbagai laman internet.

Ada satu fase ketika siswa larut secara masif menjadi para plagiator karena tugas-tugas guru mereka kopi dari internet. Guru memang tidak tahu, sebaliknya kagum karena tugas-tugas siswa sangat bagus. Padahal semua itu hasil mencuri.

Revolusi 4.0. mengubah cara hidup, termasuk peran komputer dan Google karena tidak lagi sebatas alat tetapi dunia baru dalam belajar yang terkenal dengan istilah daring. Revolusi ini menghadirkan era baru, yakni disrupsi.

Disrupsi didefinisikan hal tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang terjadi perubahan fundamental atau mendasar. Yaitu evolusi teknologi yang menyasar sebuah celah kehidupan manusia. Disrupsi kini terjadi hampir di semua bidang kehidupan.

Pendidikan yang sudah sejak lama mengenal konsep belajar jarak jauh (distance learning), pendidikan tanpa tatap muka antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa berfasilitas modul dan menggunakan jasa pos untuk mengirim tugas-tugas dan menerima materi dari kantor sekolah/universitas; rasanya berbalik ke masa jaya-jayanya UT (universitas terbuka) di masa silam.

Belajar jarak jauh ala UT tidak didukung oleh teknologi internet seperti sekarang. Ketika itu belajar jarak jauh untuk melayani masyarakat yang ingin melanjutkan ke universitas namun tidak bisa mengikuti jalur reguler karena kesibukan bekerja, keterbatasan biaya, dan usia. Dengan metode belajar seperti itu, UT pun telah mencetak banyak sarjana yang memiliki kelebihan, yakni mereka rata-rata sudah bekerja sehingga UT tidak menambah daftar panjang pengangguran intelektual.

Baca juga:  Pemilu, Event atau Perilaku

Kini pola pikir metode belajar jarak jauh UT dilirik dalam kaitan dengan teknologi internet dengan mulai diselenggarakan kelas-kelas daring. Hal ini belum total menggantikan kelas konvensional, karena itu digunakan sistem blended atau hibrida. Namun demikian, pergerakan dunia pendidikan di era disrupsi ini akan dengan sangat kuat mengarah kepada moda daring.

Era disrupsi ini juga akan banyak mengubah peran konvensional guru. Peran konvensional guru sepanjang sejarah dapat dipahami dari segi akses informasi. Pada masa lalu, siswa tidak dapat mengakses secara langsung sumber informasi karena struktur atau sistem pengajaran memposisikan guru sebagai perantara siswa dan sumber materi pelajaran.

Struktur ini memberi peran penting bagi guru sebagai pusat bertanya atau sumber ilmu pengetahuan. Dalam transformasi sosial kemudian, ketika dekadensi moral guru terjadi sebagai akibat dari instanisme sosial atau cara-cara baru dalam hidup praktis, guru tidak mampu lagi menjadi sumber pengetahuan karena mereka tidak lagi suka membaca buku, seperti guru generasi terdahulu dan menulis sendiri materi-materi pelajaran untuk para siswa, tetapi cukup mengandalkan buku yang paling buruk dalam pendidikan, yakni LKS.

Lalu muncul internet dan Google. Guru-guru generasi LKS kini juga berhadapan dengan Google. Maka guru berperan sebagai pemberi tugas untuk mencari jawaban tugas-tugas sekolah di internet. Namun demikian, guru generasi LKS tidak tertarik menemukan sumber-sumber belajar di internet. Guru menyikapi materi pelajaran di internet secara instan, barang siap digunakan. Jadi, sama dengan pola pikir mereka menggunakan LKS: serba praktis.

Baca juga:  Jepang Terbitkan Sertifikat Vaksin Covid-19 Secara Digital

Era disrupsi yang dalam dunia pendidikan mengambil bentuk nyata dalam blended learning atau pelajaran hibrida dalam kelas-kelas daring atau virtual, yang juga ditandai dengan masuknya guru-guru Gen-Z, ketika LKS sama sekali telah menjadi masa lalu, menuntut peran guru yang sejalan dengan era disrupsi.

Walaupun internet memberi banyak kemudahan dan menyediakan sumber belajar yang sangat melimpah dan tiada habis digunakan, selalu diperbarui, sebagai implementasi dari konsep keterbukaan informasi dan kemerdekaan setiap manusia untuk mengaksesnya, guru tidak bisa membiarkan siswa mengarungi dunia informasi tersebut seorang diri.

Guru harus menjadi subjek yang merdeka berdasar pada kurikulum. Kurikulum adalah filter dengan sejumlah kriteria mendasar materi apa yang harus dipelajari untuk mencapai keterampilan, sikap, dan nalar. Maka pemahaman terhadap kurikulum suatu mata pelajaran terintegrasi atau terinternalisasi dalam diri guru yang menjadi perspektif atau paradigma dalam memilih sumber-sumber materi pelajaran digital.

Dengan demikian, guru harus kritis dan memiliki daya takar terhadap suatu sumber materi pelajaran, apakah sulit, terlalu mudah, relevan, atau tidak sama sekali. Bahkan peran yang lebih terperinci adalah guru ibarat tukang masak yang dapat menyiapkan masakan kepada sejumlah orang yang berbeda selera atau minat. Artinya, materi tertentu cocok untuk siswa ini dengan sejumlah alasan yang guru amat paham dan bisa dipertanggungjawabkan. Sementara itu, materi yang sama tidak cocok untuk siswa lain.

Pandangan ini mengindikasikan bahwa dalam menjalankan peran baru era disrupsi, sangat berat jika dibandingkan dengan peran konvensional, apalagi peran ketika guru LKS berjaya, namun segi berat ini adalah tantangan zaman yang harus ditaklukkan.

Sehubungan dengan peran tersebut, paradigma atau seting pemikiran baru juga harus dibangun. Pertama, menyangkut ketersediaan kelimpahan materi pelajaran digital daring yang mana materi cetak tidak lagi sumber pelajaran yang utama dan satu-satunya seperti dalam pendidikan konvensional.

Baca juga:  Angka Kemiskinan Satu Persen, Mungkinkah?

Guru harus bisa dengan cepat menyesuaikan diri dengan segala kelimpahan materi di internet dan dapat mengarunginya secara maksimal untuk menemukan materi-materi pelajaran yang cocok dengan tuntutan kurikulum yang telah terintegrasi dalam pemahaman dirinya yang merdeka secara profesional. Kedua, menyangkut hubungan sosial guru dan siswa, yang secara konvensional hubungan ini terjadi secara langsung, formal, terjadwal, dan dalam suatu periode yang lama.

Peran konvensional guru dalam bentuk mengajar secara temu muka tidak bisa lagi dipertahankan sebagai satu-satunya aktivitas mengajar. Karena itu guru harus terbiasa menggunakan berbagai aplikasi ruang kelas atau pembelajaran dalam rangka mengajar mode daring. Guru membaca tugas-tugas siswa lewat komputer yang terkoneksi secara daring. Guru memberi komentar, memberi tugas, memberi kritik dan pujian, menyunting materi, dll., juga secara daring.

Kesadaran ini harus mulai ditumbuhkan jika tidak ingin digilas zaman. Tidak ada pilihan lain, karena arus besar peradaban global mengarah kepada perubahan hidup manusia, terutama yang menyakut pada hubungan sosial horizontal yang merdeka, mandiri, dan individual. Manusia tengah tergiring pada terakomodasinya mereka dalam hubungan-hubungan sosial baru, dengan berbagai wujud komunitas digital, seperti aneka grup, yang telah tampak nyata mulai mereduksi hubungan fisik sosial konvensional, yang mana hal  ini telah ditegaskan oleh Stillman dan Stillman (2018) melalui perumusan salah satu ciri Gen-Z, yakni figital, generasi yang hidup secara shifting antara dunia fisik dan digital, karena bagi mereka keduanya dunia yang sama.

Penulis, Dosen Undiksha, Singaraja

 

 

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *