
DENPASAR, BALIPOST.com – Dua sekaa gong legendaris Bali menutup rangkaian Konser Gamelan “Meraya Matra Manawa” yang digelar Institut Seni Indonesia (ISI) Bali bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Puncak konser berlangsung di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu (21/12) sebagai penegasan makna pengakuan UNESCO terhadap gamelan sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia.
Konser yang telah berlangsung sejak 15 Desember 2025 ini menjadi ruang perayaan sekaligus refleksi intelektual atas gamelan, tidak semata sebagai seni pertunjukan, tetapi sebagai sistem pengetahuan dan praktik budaya yang hidup. Puncak acara ditandai Pementasan Kolosal Kekebyaran Legendaris (Werdha–Wirama–Waskita) bertajuk “Warisan Intelektual Empu Gamelan”, dipersembahkan oleh Sanggar Usadhi Langu bersama Gong Abdi Budaya Banjar Anyar (Perean Kangin, Tabanan) dan Gong Dharma Kusuma Banjar Pinda (Gianyar).
Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Bali, Prof. Dr. I Gede Yudarta, S.Skar., M.Si, menegaskan bahwa rangkaian konser ini menempatkan gamelan sebagai pengetahuan yang terus dikaji dan dikembangkan dalam konteks pendidikan tinggi seni. “Konser ini tidak hanya menghadirkan gamelan dari berbagai wilayah di Bali, tetapi juga dari Padangpanjang, Gamelan Bambu Banyumas, dan Gamelan Jawa. Pengakuan UNESCO harus dimaknai sebagai tanggung jawab bersama untuk terus menghidupkan nilai-nilai gamelan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama ISI Bali, Prof. Dr. I Komang Sudirga, S.Sn., M.Hum. Menurutnya, gamelan telah diterima luas di berbagai belahan dunia dan berkembang sebagai bagian dari pendidikan.
“Gamelan bukan hanya bunyi atau tontonan, melainkan teknologi budaya dan sistem pengetahuan yang terus disebarluaskan melalui pendidikan, lokakarya, dan penciptaan karya baru,” katanya.
Pada puncak konser, Gong Dharma Kusuma Banjar Pinda—dikenal sebagai Gong Pinda—tampil sebagai sekaa legendaris yang berakar sejak era pra-Gong Kebyar. Sejarahnya mencatat, sekitar 1920-an gamelan palegongan di Pinda dilebur menjadi Gong Kebyar oleh Pande Padet dari Blahbatuh.
Sosok empu I Nyoman Senen menjadi figur sentral dengan tabuh-tabuh monumental yang membentuk estetika Gong Pinda. Jejak kejayaannya dibuktikan melalui berbagai penghargaan sejak 1952 hingga 2001 sebagai duta Kabupaten Gianyar. Pada pementasan ini, Gong Pinda tampil dengan penabuh lintas generasi, menegaskan kesinambungan tradisi.
Gong Pinda membawakan Lelambatan Kembang Kuning (1969, I Nyoman Senen), Tari Kebyar Goak Macok yang menampilkan visualisasi burung goak yang lincah dan tajam, serta Tabuh Kekebyaran Manuk Anguci (1969) yang merefleksikan kehidupan agraris-pesisir Pinda melalui perpaduan bunyi alam.
Sementara itu, Gong Abdi Budaya Banjar Anyar, Perean Kangin, Tabanan, tampil merepresentasikan semangat pengabdian terhadap seni tabuh Bali dengan kekuatan eksplorasi gegenderan. Repertoar yang disajikan meliputi Lelambatan Tabuh Pat Eman-Eman, Tabuh Kreasi Abdi Budaya (1971, Gusti Bagus Suarsana), serta Tari Truna Jaya karya I Gede Manik (1925) yang ditarikan Ni Kadek Dhya Sumitha Apsari dari Program Studi Tari ISI Bali. (Ketut Winata/balipost)









