
TABANAN, BALIPOST.com – Bupati Tabanan, I Komang Gede Sanjaya memastikan Pemerintah Kabupaten Tabanan memberlakukan kebijakan pembebasan atau nol persen pajak lahan sawah di kawasan subak Jatiluwih pada 2026.
Selain itu, hasil komoditas pertanian Jatiluwih juga akan diserap melalui perusda untuk memberikan kepastian harga dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Pernyataan ini disampaikan Bupati Sanjaya usai menerima audiensi petani dan penilik akomodasi pariwisata Jatiluwih di ruang kantor Bupati Tabanan, Senin (8/12).
Bupati Sanjaya menegaskan seluruh aspirasi yang disampaikan tersebut tentu akan ditampung untuk dibahas secara internal, dan segera disampaikan kepada Gubernur Bali serta Pansus, mengingat penataan kawasan berada dalam kewenangan provinsi.
“Setelah itu kami sampaikan ke bapak gubernur dan tim pansus. Masyarakat juga kami harapkan menyampaikan langsung aspirasi ke petinggi provinsi agar mereka memahami kondisi kultur Jatiluwih,” tegas Sanjaya.
Selain pembebasan pajak lahan, pemerintah daerah juga akan menyerap hasil produksi baik padi bali, padi merah dan apapun hasil sektor pertanian di Jatiluwih melalui Perusda sesuai dengan harga pemerintah sehingga petani ada kepastian menjual komoditi.
“Pemerintah daerah ikut berkontribusi agar masyarakat bisa menjaga warisan leluhur dari abad ke 11 dengan sektor pertanian dan subaknya,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, sejumlah pelaku usaha dan petani di Jatiluwih diterima audiensi oleh Bupati Tabanan, I Komang Gede Sanjaya pada Senin (8/12) pagi. Audiensi tersebut digelar sebagai respons atas polemik penyegelan belasan akomodasi pariwisata di LP2B dan LSD oleh Pansus TRAP DPRD Bali pada Selasa (2/12), yang memicu keresahan masyarakat sampai dengan pemasangan seng dan plastik dilahan pertanian.
Dalam kesempatan itu, para petani dan pelaku usaha lokal menyampaikan delapan tuntutan penting yang mereka nilai krusial bagi keberlanjutan ekonomi dan budaya di kawasan Jatiluwih.
Poin pertama, pemerintah dimohon memfasilitasi aspirasi pemilik akomodasi, warung, dan restoran yang merupakan petani lokal dan putra daerah Jatiluwih.
Poin kedua, bangunan yang telah berdiri sebelum Perda RTRW 2023 tetap diperbolehkan beroperasi sebagai penunjang pariwisata, sedangkan bangunan baru menyesuaikan aturan terbaru.
Poin ketiga, diajukan permohonan perubahan ketentuan RTRW yang lebih spesifik untuk Desa Jatiluwih.
Poin keempat, restoran dan akomodasi penting bagi ekonomi keluarga petani dan generasi muda agar tetap dapat bekerja di daerah tanpa harus merantau.
Poin kelima, Pemerintah diharapkan menerbitkan regulasi baru yang berpihak pada masyarakat Jatiluwih serta pelaku usaha mikro dan makro setempat.
Poin keenam, Pengelolaan pariwisata diminta dikembalikan kepada subak dan adat sehingga petani memperoleh keuntungan yang lebih adil.
Poin ketujuh, dibuka ruang dialog dan mediasi antara pemerintah dan pengusaha lokal yang terdampak penutupan sepihak.
Dan poin kedelapan, pemasangan seng merupakan bentuk protes atas penyegelan tanpa pemberitahuan resmi dan sebelum SP-3 diterima. Aksi akan berlanjut hingga tuntutan dipenuhi. (Puspawati/balipost)









