Alat berat sedang mengerjakan penanggulangan abrasi di pesisir Pantai Kuta, Badung. Selain penataan di pesisir untuk mencegah abrasi, pemerintah juga membangun beberapa pemecah ombak. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kondisi sempadan pantai saat ini memprihatinkan karena maraknya pembangunan di pesisir yang tidak berizin. Bahkan, abrasi pantai semakin meluas sehingga mengancam pesisir dan ruang sakral krama Bali dalam melaksanakan upacara keagamaan.

Berdasarkan data Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida 2021, dari total 633,4 kilometer panjang pantai di Bali, sepanjang 215,8 kilometer di antaranya mengalami abrasi. Dari jumlah tersebut, penanganan baru dilakukan pada 114,85 km, atau sekitar 53% dari total pantai yang tergerus abrasi.

Menurut Akademisi Teknik Sipil Universitas Warmadewa (Unwar), Ir. Kadek Windy Chandrayana, ST.,MT.,IPM., makin memprihatinkannya kondisi sempadan pantai ini mesti disikapi. Upaya Pemerintah Provinsi Bali yang mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Pantai dan Sempadan Pantai, patut diapresiasi.

Ia berharap Raperda ini mampu menyediakan ruang yang memadai bagi pelaksanaan kegiatan adat, meskipun ketentuan serupa sebenarnya telah diatur dalam Perda Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Bali 2023–2043.

Dalam Perda tersebut telah dijelaskan bahwa sempadan pantai dengan lebar minimal 100 meter dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk kegiatan adat. Ketentuan ini juga sejalan dengan Perpres Nomor 51 Tahun 2016 yang menetapkan batas sempadan pantai minimal 100 meter yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan adat.

Baca juga:  Tahun Ini, Peserta PJMB FKH Unud Capai Rekor Tertinggi

Regulasi yang lebih rinci mengenai penentuan lebar sempadan pantai tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 21/Permen-KP/2018 tentang Tata Cara Penghitungan Batas Sempadan Pantai.

Jika mengacu pada aturan KKP tersebut, dengan mempertimbangkan kondisi pantai di Provinsi Bali yang memiliki tingkat risiko tinggi akibat laju erosi (rata-rata erosi 1.85m/tahun berdasarkan data BWS Bali Penida 2021) dan kenaikan muka air laut, lebar sempadan yang diperlukan dapat mencapai 300 meter.

“Namun, penerapan lebar sempadan sebesar itu tampaknya sulit direalisasikan dalam konteks kondisi eksisting di Bali yang didominasi pemanfaatan untuk akomodasi wisata, seperti hotel, restaurant, villa, dan sebagainya,” ujarnya, Kamis (4/12).

Diungkapkan, saat ini bahkan ketentuan sempadan pantai selebar 100 meter pun belum terlihat penerapannya secara konsisten. Konflik pemanfaatan ruang pantai antara masyarakat dan pelaku usaha masih sering terjadi. Jika pemerintah memang belum mampu menerapkan ketentuan sempadan yang ideal, maka diperlukan kajian mendalam yang mempertimbangkan laju abrasi serta kondisi pemanfaatan ruang pesisir saat ini.

Baca juga:  Soal Kasus DMD, FPMHD Unud Minta Wakil Rakyat Lakukan Ini

Untuk itu, pemerintah perlu bertindak cepat untuk mengantisipasi peningkatan laju abrasi yang berpotensi semakin parah akibat perubahan iklim. Upaya penanganan ini memerlukan biaya yang sangat besar serta kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, terlepas dari batasan kewenangan yang selama ini kerap menjadi hambatan dalam penanganan kawasan pantai.

Pemerintah Provinsi Bali harus memberikan perhatian lebih serius terhadap kondisi pantai saat ini, mengingat pantai merupakan aset wisata vital yang menjadi daya tarik utama pariwisata Bali.

“Yang lebih penting saat ini adalah merumuskan strategi percepatan penanganan erosi pantai serta memastikan penerapan sempadan pantai sesuai aturan yang sudah ada, bukan kembali membuat regulasi baru yang belum tentu dapat diimplementasikan secara efektif,” sarannya.

Sementara itu, Ketua Fraksi Gerindra–PSI DPRD Bali, Gede Harja Astawa, S.H., M.H., menyoroti terhadap maraknya pembangunan di pesisir yang tidak berizin, terutama oleh investor asing. Ia menegaskan bahwa Bali tidak boleh dibiarkan menjadi pulau yang terus digerogoti oleh kepentingan ekonomi semata.

Baca juga:  Dari DMD Sampai SMA Tinggal di Payangan hingga Vaksinasi COVID-19 Dosis Lengkap

“Banyak investor datang ke Bali bukan untuk menjaga Bali, tetapi mengambil keuntungan sebanyak mungkin. Bahkan ada bangunan di kawasan pantai tanpa alas hak yang sah. Ini mengancam masa depan wilayah pesisir dan ruang sakral masyarakat adat,” ujar Gede Harja Astawa, Kamis (4/12).

Untuk itu, ia menegaskan perlunya penetapan sempadan pantai minimal 100 meter sebagai “green belt”. Prioritas pemanfaatan ruang pesisir bagi masyarakat adat, nelayan tradisional, dan UMKM.

Pengaturan larangan privatisasi pantai. Mekanisme legal penyematan status kawasan suci. Dan Peta digital teknis berbasis kajian ekologis, geomorfologis, dan adat.

Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih, menegaskan bahwa pantai tidak hanya menjadi aset pariwisata, tetapi juga ruang budaya dan spiritual bagi masyarakat Bali. Oleh karena itu, Politisi Partai Golkar ini meminta agar pengaturan dalam Pergub sebelumnya dapat diperkuat dan diformalkan menjadi Perda, agar perlindungan terhadap kawasan pantai semakin kuat secara hukum. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN