Suasana di pesisir Gianyar yang mulai marak pembangunan akomodasi wisata. (BP/Istimewa)

GIANYAR, BALIPOST.com – Pesisir Pantai Kesiut, Lebih, hingga Ketewel, Gianyar, mulai dikuasai orang Jakarta dan warga negara asing (WNA). Sementara, warga lokal hanya jadi penonton.

Ketua Ubud Hotels Association (UHA), Putu Surya Arisoma, Senin (13/10) mengatakan pembangunan vila kini tak bisa dibendung. Investor dari Jakarta, termasuk asing bikin vila karena diberikan menyewa atau membeli lahan di daerah bibir pantai. “Investor Jakarta dan investor asing bisa membangun vila karena diberikan sewa atau beli oleh pemilik lahan sebelumnya,” ucapnya.

Putu Surya Arisoma menjelaskan jika orang lokal ingin membeli atau menyewa lahan di bibir pantai juga memiliki kesempatan membangun vila. “Tolong diperhatikan juga setiap vila yang dibangun apakah sudah memiliki izin. Kalau tidak mesti ditertibkan oleh pemerintah,” jelasnya.

Baca juga:  Final! Suplai Listrik Jabali Gunakan Kabel Bawah Laut

Pelaku Pariwisata, A.A. Agung Ngurah Bagus Bhaskara memaparkan masyarakat lokal memiliki vila atau akomodasi di bibir pantai karena sudah melakukan investasi di awal. “Sekarang mulai bermunculan masalah vila ilegal yang menggunakan lahan pertanian termasuk lahan di bibir pantai,” jelasnya.

Bhaskara menuturkan peralihan lahan pertanian di bibir pantai ke investor Jakarta atau investor asing karena kurangnya pengawasan dan penegasan terhadap RTRW di Bali yang amburadul saat ini. “Kabupaten/kota telah memiliki detail tata ruang wilayah masing masing, fungsi pengawasan pemda yaitu monitoring dan evaluasi perlu ditegakkan,” tegasnya.

Baca juga:  Bangun Daerah, Badung Diminta Optimalkan PAD dan Dana Transfer

Petani asal Desa Sukawati yang mengembangkan pertanian di Pesisir Pantai Purnama Wayan Sukaja, menyampaikan pergeseran kepemilikan lahan pertanian di bibir Pantai Purnama mulai terjadi dari 1990-an.

Sektor pertanian yang mengembangkan padi, semangka, kacang, dan lainnya tidak efektif menghasilkan sehingga masyarakat memilih menjualkan tanah di pesisir pantai untuk membeli lahan pertanian pengganti yang lebih baik.

“Investor juga berani membeli lahan petani dengan harga lebih tinggi sehingga petani lokal semakin tertarik untuk menjual tanah, investor terlihat menyulap lahan pertanian menjadi uang banyak,” tuturnya.

Baca juga:  OJK Imbau Perusahaan Pinjol Waspadai Risiko Gagal Bayar

Sukaja menambahkan sebelumnya tanah di pesisir pantai dijual Rp225 juta per are sementara saat ini mencapai Rp400 juta – Rp500 juta per are. Petani yang menjual tanah pesisir tetap menjadi petani dengan membeli tanah pengganti di bagian utara.

“Karena Pantai Purnama ombak tinggi, petani yang menjual lahan pertanian beralih profesi menjadi buruh bangunan atau tukang ukir, petani di Pantai Rankan dan Pantai Saba berprofesi sebagai nelayan,” jelas Sukaja. (Wirnaya/balipost)

BAGIKAN