
TABANAN, BALIPOST.com – Upaya mencegah penyebaran penyakit Tuberkulosis (TBC) terus dilakukan di lingkungan lembaga pemasyarakatan (Lapas). Tim dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI bersama Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan meninjau kesiapan pelaksanaan skrining TBC di Lapas Kelas IIB Tabanan.
Kegiatan ini dilakukan untuk memastikan pelaksanaan skrining TBC dengan rontgen dada yang dijadwalkan pada 15 Oktober mendatang berjalan lancar dan sesuai prosedur. Peninjauan dilakukan langsung ke lapangan untuk melihat kesiapan ruangan, tenaga medis, dan sarana pendukung lainnya.
Dokter Lapas Tabanan, Luh Putu Tresnadewi, menjelaskan bahwa pihaknya sudah lebih dulu melakukan penyuluhan dan skrining awal kepada seluruh warga binaan. “Untuk pemeriksaan dengan rontgen dada nanti akan dilakukan di Aula Candra Prabhawa,” jelasnya.
Kepala Lapas Tabanan, Prawira Hadiwidjojo, menyambut baik kegiatan tersebut dan menyatakan dukungan penuh. “Kami berterima kasih atas perhatian Kemenkes dan Dinas Kesehatan. Kami siap membantu agar pelaksanaan skrining berjalan lancar dan hasilnya bisa bermanfaat bagi kesehatan warga binaan,” ujarnya.
Perwakilan Tim TB-ISPA Kemenkes RI, dr. Galuh Budi Caksono, mengapresiasi kesiapan Lapas Tabanan. “Kami melihat persiapan sudah baik. Semoga kegiatan skrining ini bisa mendeteksi lebih dini warga binaan yang terinfeksi TBC sehingga bisa segera ditangani,” katanya.
Skrining TBC ini diharapkan menjadi langkah nyata dalam mencegah penyebaran penyakit menular di lingkungan Lapas. Selain itu, kegiatan ini juga merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap hak kesehatan warga binaan agar tetap sehat dan terjaga selama menjalani masa pembinaan.
Sebelumnya terkait dengan penyakit TBC, dinas kesehatan Tabanan sempat melaporkan berdasarkan data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), sepanjang periode 2020 hingga Juni 2025, estimasi kasus TBC setiap tahunnya selalu lebih tinggi dibandingkan jumlah kasus yang berhasil ditemukan dan ditangani. Sebagai contoh, dari 995 kasus yang diperkirakan terjadi pada 2020, hanya 197 kasus yang ditemukan, artinya cakupan penanganan hanya sekitar 20 persen. Tren serupa juga terjadi di tahun-tahun berikutnya, dengan penemuan kasus mencapai puncaknya pada 2024 dengan 304 kasus dari estimasi 602 kasus atau sekitar 50,5 persen.
Namun pada semester pertama tahun 2025, terjadi penurunan signifikan dalam cakupan pengobatan, yakni hanya 23 persen, dari 599 estimasi kasus hanya 138 yang ditemukan dan ditangani. Tantangan besar dalam meningkatkan cakupan penemuan dan pengobatan kasus TBC, utamanya adalah ketakutan masyarakat saat diminta memeriksakan dahak karena khawatir hasilnya positif.(Puspawati/balipost)