Krama Desa Adat Kapal melaksanakan tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon di areal Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, Badung, Senin (6/10). (BP/eka)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Bertepatan dengan Purnama Sasih Kapat, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, melaksanakan prosesi sakral Aci Tabuh Rah Pengangon, di areal Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, Senin (6/10).

Tradisi yang lebih dikenal sebagai Siat Tipat Bantal (Perang Ketupat dan Bantal) ini diyakini krama desa sebagai warisan Patih Kebo Iwa, dan dimaknai sebagai wujud syukur, permohonan kemakmuran serta keselamatan.

Aci Tabuh Rah Pengangon secara harfiah berarti persembahan untuk turunnya sumber kehidupan dari manifestasi Dewa Siwa (Pengangon/Rare Angon). Prosesi ritual dimulai dari peed dari Pura Sada menuju Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, dilanjutkan dengan persembahyangan, dan barulah dilakukan Aci Tabuh Rah Pengangon di depan Bale Agung.

Dalam pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon, krama desa dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok tersebut nantinya saling berhadapan untuk melemparkan tipat dan bantal yang telah diupacarai tersebut ke atas agar saling bertemu.

Baca juga:  Usai Sholat Id, Muslim Kampung Singaraja Gelar Megibung

Bandesa Adat Kapal, I Ketut Sudarsana menerangkan tradisi Tabuh Rah Pengangon ini awalnya dimulai pada 1338 Masehi. Dari sumber sastra yang ada, disebutkan pada masa itu di Desa Kapal ini terjadi musim paceklik, yang kebetulan saat itu raja Bali mengutus para undagi untuk memperbaiki pura-pura yang ada di Bali, dan salah satu diantaranya adalah Pura Sada yang ada di Desa Kapal.

Tokoh yang memimpin para undagi tersebut adalah Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal Kebo Iwa. Melihat kondisi paceklik yang dihadapi masyarakat, maka beliau pun memohon pada Tuhan di Pura Sada. Dan didapatkan pencerahan bahwa untuk mengatasi paceklik tersebut maka harus dilaksanakan ritual Aci Tabuh Rah Pengangon, yang menggunakan sarana tipat dan bantal.

Baca juga:  Ini Kata Giri Prasta Soal OTT dan Isu Kedekatannya dengan Bendesa Berawa

“Tipat dan bantal itu adalah simbol Purusa Pradana. Bantalnya adalah Purusa dan tipatnya adalah Pradana,” tutur Sudarsana.

Dalam ajaran Hindu disebutkan bahwa pertemuan dua aspek yang berbeda akan menghasilkan kehidupan baru. Kalau di ilmiahkan, pertemuan antara sperma dan sel telur akan menghasilkan keturunan. Purusa dan Pradana ini juga bisa disimbolkan sebagai Lingga dan Yoni.

“Dalam pelaksanaannya, tipat dan bantal itu dipisah. Kalau bantalnya dilempari oleh krama lanang, sedangkan tipat nya dilempar oleh krama istri,” terangnya

Lebih lanjut dijelaskan, dalam melempar tipat dan bantal ke atas gerakannya variabel sehingga tipat dan bantal bertemu dalam satu titik.

Sementara itu, salah seorang warga Banjar Tambak Sari, Desa Adat Kapal, Andi Pastika Putra menuturkan, uniknya tradisi ini adalah untuk keharmonisan alam. Ini merupakan ungkapan rasa syukur petani atas hasil panennya.

Baca juga:  Tradisi Wong Perau dan Tari Canglongleng Diusulkan Jadi WBTb

“Harapannya, hal-hal seperti ini harus dilaksanakan berkesinambungan, dengan nafas kreativitas-kreativitas yang berbeda dari tahun ke tahun, tanpa meninggalkan apa yang telah diwariskan dari dahulu kala,” papar Andi.

Andi yang juga seorang seniman menambahkan, sebagai generasi muda yang menjadi pelestari budaya, maka pengembangan kreatifitas dibutuhkan dalam upaya melanjutkan warisan budaya tersebut.

Tradisi Siat Tipat Bantal ini menjadi momentum penting yang mempererat solidaritas antarwarga desa. Seluruh krama, baik tua maupun muda, laki-laki dan perempuan, bergotong royong dalam persiapan upacara dan terlibat langsung dalam ritual perang tipat bantal, menjadikannya tontonan budaya yang unik dan sarat makna. (Eka Adhiyasa/balipost)

BAGIKAN