
DENPASAR, BALIPOST.com – Ancaman bencana alam di Bali ternyata tidak hanya berkutat pada potensi gempa bumi dan tsunami, melainkan juga kompleksitas cuaca ekstrem, kerentanan topografi, hingga masalah lingkungan yang mendasar. Pemahaman ini menjadi fokus utama yang diangkat oleh para pakar saat memberikan pelatihan peningkatan kapasitas bagi jurnalis di Denpasar, Sabtu (4/10).
Pelatihan yang diinisiasi oleh Jawa Pos TV Bali dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ini bertujuan menghasilkan pemberitaan yang tidak hanya melaporkan tragedi, tetapi juga menyajikan solusi dan informasi penting bagi korban serta regulator.
Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Bali, I Gede Agung Teja Bhusana Yadnya, menekankan bahwa tidak ada bencana yang disebabkan oleh faktor tunggal. Bencana adalah hasil dari bertemunya kerentanan dengan ancaman.
Mengambil contoh banjir bandang yang melanda Bali baru-baru ini, 9 dan 10 September 2025, Kalaksa BPBD menjelaskan pemicunya adalah gabungan dari curah hujan yang sangat ekstrem, 390 mm, dua kali lipat dari batas ekstrem 150 mm/hari dan gelombang pasang setinggi lebih dari 2 meter. Gelombang pasang inilah yang menghambat aliran air sungai ke laut, sehingga memperparah banjir.
Narasumber dari Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, Kadek Setiya Wati berupaya menjembatani kesenjangan pemahaman jurnalis tentang istilah-istilah meteorologi. Ia menganalogikan perbedaan antara cuaca dan iklim agar mudah diingat. “Cuaca itu berubah, seperti perempuan, sesuai mood-nya. Kalau iklim, seperti lelaki. Pola stabil.”
Ia juga menegaskan perbedaan antara angin kencang (sudah masuk cuaca ekstrem jika di atas 45 km/jam) dengan puting beliung (pusaran dari dasar awan cumulonimbus). Khusus untuk banjir bandang, dijelaskan juga adanya faktor gelombang atmosfer aktif (gelombang Rosdi) yang dipicu oleh pemanasan sinar matahari atau topografi.
Sementara itu, Stasiun Geofisika Denpasar, melalui Ni Luh Desi Purnami, mengingatkan ancaman gempa bumi dan tsunami selalu mengintai. Pergerakan kerak bumi, meskipun hanya 7 milimeter per tahun, adalah energi yang berpotensi memicu gempa dahsyat. “Gempa bumi tidak menunggu waktu, kalau sudah waktu, ya, maka akan terjadi,” tegasnya.
Di luar fokus utama mitigasi bencana cuaca, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Made Rentin, menyoroti ancaman lingkungan yang lebih senyap, masalah sampah. Ia menekankan implementasi Peraturan Gubernur (Pergub) Bali 47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Rentin mendorong solusi praktis di tingkat rumah tangga dan desa. Seluruh sampah organik, idealnya, harus tuntas diolah di rumah tangga dengan metode teba modern. Inisiatif ini juga akan didukung dengan rencana pembangunan pusat krisis (crisis center) khusus sampah.
Secara keseluruhan, kesiapsiagaan harus bersifat multidimensi. Mulai dari memahami pola iklim (20 zona musim di Bali), memitigasi risiko gempa, hingga menyelesaikan masalah sampah, semua berperan dalam mewujudkan Bali yang tangguh bencana. (Suka Adnyana/balipost)