
DENPASAR, BALIPOST.com – Ketegasan Pansus Tata Ruang, Aset Daerah, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali dalam menindak segala bentuk pelanggaran tata ruang, aset, dan perizinan mendapatkan dukungan banyak pihak. Dukungan Pansus menegakkan aturan ini untuk masa depan Bali.
Dukungan tak hanya diberikan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, juga dari kalangan akademisi Prof. Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, S.H., M.Hum., tokoh masyarakat yang juga Ketua WHDI Bali, Tjok. Istri Sri Ramaswati, S.H., M.Hum., pelaku pariwisata Dr. Panudhiana Kuhn dan pakar hukum Putu Suta Sadnyana, S.H., M.H.
Gubernur Wayan Koster memberikan dukungan penuh kepada Pansus bahwa penegakan aturan terkait alih fungsi lahan dan sempadan sungai menjadi harga mati. ‘’Siapa pun backingan-nya harus ditindak tegas. Bali harus belajar dari musibah banjir bandang yang memakan korban jiwa. Era main-main dengan aturan di Bali sudah berakhir,” tegas Koster seusai rapat kerja dengan Pansus TRAP DPRD Bali, di Jayasabha.
Koster mengungkapkan penertiban yang susah berjalan yaitu penertiban Kawasan Pantai Bingin yang direkomendasi untuk dibongkar. Bahkan, Gubernur Koster dan Bupati Badung terdepan dalam eksekusi pelanggaran yang terjadi di kawasan ini.
Sementara, beberapa kasus yang menjadi sorotan dan akan ditindaklanjuti serius sampai tuntas, antara lain pembangunan di lahan sawah dilindungi (LSD) Pantai Lima, pelanggaran oleh Magnum di Canggu, dugaan pelanggaran di Nuanu City / Luna Beach Club, dan usaha di kawasan Hutan Mangrove dan Tahura di Sidakarya. Termasuk pelanggaran di Padanggalak, tepat di depan Hongkong Garden, serta kasus sungai yang berada di dalam Mal Bali Galeria yang akan diusut tuntas.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Suparta menegaskan komitmen bersama Gubernur. “Kalau salah tutup, kalau fatal bongkar,” tegasnya. Bahkan kata dia, yang paling penting, jangan ada yang coba-coba berlindung di balik nama besar. Kalau ada yang pakai backing, atau menyebut-nyebut dijaga orang hebat, pejabat atau tokoh harus ditindak tegas. ‘’Siapapun backing-nya, kami bekerja sesuai aturan, salah ya disanksi tegas,” tegas Made Suparta menirukan arahan Pak Gubernur.
Menurut Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini, sejumlah pelanggaran yang terjadi bukan lagi soal peringatan, tapi soal penegakan hukum demi masa depan Bali. “Ngiring kita kawal bersama,,” ajaknya.
Prof. Lanang Perbawa yang dilantik jadi Rektor PAW Unmas, Selasa (23/9) memberi dukungan pada Pansus dan Gubernur Bali bersama menyelamatkan masa depan Bali. Kini banyak lahan di Bali beralih fungsi dan kepemilikannya menjadi sinyal bahwa Bali ke depan harus dikelola dengan lebih baik.
Saat ini desa adat yang memiliki potensi pariwisata sedang dikejar oleh investor dengan iming-iming uang banyak. Jika ini tak dikelola dengan baik potensi itu akan memunculkan benturan kepentingan antara masyarakat, desa adat hingga pemerintahan.
Dia mengungkapkan musibah bencana yang menimpa Bali harus dijadikan koreksi bersama bahwa pengelolaan dan tata kelola alam Bali perlu dibenahi. Kedua, perkuat dan perketat aturan soal alih fungsi lahan dan peruntukkannya.
Jika ini sudah kuat siapaun pemilik layhan jika peruntukkannya tak sesuai patut diberikan sanksi. ‘’Kuncinya tentukan kawasan mana yang boleh dan tak boleh dibangun sehingga desa adat dan pemerintah daerah/kota dan provinsi perlu duduk bersama,’’ tegasnya.
Dukungan juga diberikan Ketua WHDI Provinsi Bali yang juga Ketua Yayasan PT Saraswati Pusat Denpasar, Tjok. Istri Sri Ramaswati, S.H., M.Hum. Dia mengaku prihatin begitu mudahnya menyertifikatkan lahan negara menjadi hak milik dan aturan peruntukannya dilanggar.
Di sinilah diperlukan ketegasan penegakkan aturan. ‘’Jika WNA tak boleh memiliki lahan yang jangan dikasi,’’ tegasnya seraya mengakui dengan sistem kontrak panjang hingga 90 tahun juga artinya merugikan Bali.
Dia setuju Pansus menindak semua pelanggar aturan. Jika tak demikian pelanggaran akan terus berlansung dan merugikan masa depan krama Bali.
Pengawasan Tetap Ada di Pemerintah Daerah
Dukungan bersama menyelamatkan masa depan Bali juga datang dari pelaku pariwisata yang juga Konsul Kehormatan Malaysia, Panudiana Khun di Denpasar, Selasa (23/9). Dia mengatakan, pemerintah memberikan kesempatan bagi WNA untuk memiliki hak pakai atas properti di Indonesia.
Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan investasi asing. Meski demikian, pengawasan serta pemberian izin atas kepemilikan hak pakai tersebut tetap berada di bawah kewenangan pemerintah daerah.
Dia mengatakan WNA bisa menguasai atau memanfaatkan lahan dengan status tertentu. WNA boleh memiliki lahan atau properti hanya diberikan hak pakai, bukan hak milik. Hak pakai ini memiliki jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
WNA diberikan hak pakai karena pemerintah Indonesia terus mendorong masuknya investasi asing untuk memperkuat perekonomian nasional. WNA dapat membeli properti dengan status hak pakai tanpa melalui sistem nominee.
Ini merupakan perubahan signifikan dari aturan sebelumnya yang mengharuskan WNA menggandeng mitra lokal, di mana 51 persen kepemilikan harus dipegang oleh warga Indonesia.
Dia berharap, pemerintah daerah wajib turun ke bawah mengingat masih lemahnya pengawasan di tingkat bawah. Banyak perizinan seperti IMB, Amdal, dan izin lingkungan (SITU, HO) dikeluarkan tanpa pengawasan lapangan yang ketat. Pemerintah daerah, DPRD, Dinas Perizinan, Lurah, Camat hingga Bupati, perlu aktif turun ke lapangan untuk memantau langsung dampak pembangunan.
“Pemerintah seharusnya memastikan sepadan jalan, sungai, pantai, jangan sampai pembangunan melanggar tata ruang. Sekarang banyak pelanggaran karena kurangnya kontrol dari bawah,” tambah Kuhn.
Perizinan harus disertai pengawasan langsung, terutama di daerah-daerah yang menjadi pusat perhatian investor asing. Tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini justru bisa berdampak buruk bagi masyarakat lokal dan lingkungan.
Koordinator Wilayah Bali Peradi, Dr. Putu Suta Sadnyana, S.H., M.H., juga, menegaskan WNA tidak boleh memiliki tanah status hak milik. Namun, ada beberapa opsi legal yang memungkinkan WNA menguasai tanah atau properti. Itu berdasarkan Undang-Undang Agraria No. 5 Tahun 1960, Hak Milik (freehold / kepemilikan penuh) atas tanah hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia.
“Penyerahan atau pemindahan hak milik kepada WNA, baik langsung atau tidak langsung, dilarang,” katanya.
Penggunaan nominee (yakni membuat orang Indonesia tercatat sebagai pemilik atas nama untuk kepentingan WNA) dianggap ilegal oleh pemerintah dan sangat berisiko.
Putu Suta menjelaskan, walaupun tidak bisa memiliki hak milik langsung, WNA bisa menggunakan beberapa bentuk hak atau struktur hukum yang diakui, antara lain, Hak Pakai (Right to Use) untuk kepentingan pemakaian (residensial, bukan freehold), bisa atas nama WNA jika memenuhi syarat (misal diperoleh izin tinggal khusus). Durasi awal sering 25-30 tahun, bisa diperpanjang.
Hak Sewa (Leasehold) Leasehold Agreement, menyewa tanah dari pemilik lokal untuk jangka waktu tertentu (25-30 tahun atau lebih), bisa diperpanjang. WNA bisa menggunakan ini. Kemudian, Hak Guna Bangunan (HGB) melalui PT PMA Right to Build melalui perusahaan asing yang memiliki izin investasi (PMA).
“Untuk keperluan pembangunan properti (komersial atau untuk disewakan). Dengan HGB, WNA lewat perusahaan bisa mengontrol bangunan di atas tanah, meskipun tanahnya bukan milik perusahaan penuh. Durasi biasanya 30 tahun, dan bisa diperpanjang,” ucapnya. (Ketut Winata/Sueca/Suardika/balipost)