
DENPASAR, BALIPOST.com – Selama tahun 2025, perekonomian Bali menunjukkan kinerja yang solid dengan tingkat optimisme konsumen yang tetap tinggi, stabilitas inflasi yang terjaga, serta sektor jasa keuangan yang semakin percaya diri menatap 2026. BPS Bali mencatat, pertumbuhan ekonomi Bali 2025 pada triwulan I tahun 2025 sebesar 5,52%, triwulan II (5,95%), dan triwulan III sebesar 5,88%.
Namun di balik capaian tersebut, upaya diversifikasi ekonomi Bali dinilai masih berjalan lambat. Ketergantungan ekstrem terhadap sektor pariwisata masih menjadi pekerjaan rumah besar yang mendesak untuk segera ditangani melalui diversifikasi ekonomi yang lebih serius.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Erwin Soeriadimadja memperkirakan inflasi Bali sepanjang 2025 berada di sekitar titik tengah sasaran nasional, yakni 2,5 persen ±1 persen. Capaian ini dinilai sebagai hasil kerja kolaboratif pemerintah daerah dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Erwin menilai, pemerintah daerah dan TPID layak disebut sebagai “hero” dalam pengendalian inflasi. Stabilitas harga menjadi pondasi penting dalam menjaga daya beli masyarakat serta menopang konsumsi rumah tangga sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi Bali.
Sejalan dengan inflasi yang terkendali, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bali pada November 2025 tercatat 141,58. Angka ini meningkat 1,2 persen secara bulanan dan berada jauh di zona optimistis. Penguatan IKK didorong oleh momentum hari raya Galungan dan Kuningan, serta musim panen sejumlah komoditas perkebunan yang meningkatkan optimisme konsumsi masyarakat.
Optimisme tercatat merata di seluruh kelompok usia, dengan tingkat keyakinan tertinggi pada usia 20–30 tahun mencapai 149,0, usia di atas 60 tahun (147,2), usia 51–60 tahun (143,3), usia 31–40 tahun (137,7), dan usia 41–50 tahun sebanyak 133,3. Dari sisi pekerjaan, indeks optimisme pekerja sektor formal mencapai 140,3, sedangkan sektor informal 142,7. Hal ini menunjukkan keyakinan ekonomi yang relatif menyebar di berbagai lapisan masyarakat.
Hal senada dikatakan pengamat ekonomi Universitas Warmadewa, Prof. Dr. I Made Sara. Ia menilai, ekonomi Bali sepanjang tahun 2025 berada dalam fase pemulihan yang kokoh. Hingga triwulan II-2025, ekonomi Bali tumbuh 5,0–5,8 persen (yoy), dengan pertumbuhan kumulatif semester I mencapai 5,78 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Produk domestik regional bruto (PDRB) Bali atas dasar harga berlaku (ADHB) pada triwulan II tercatat Rp81,39 triliun.
Namun, struktur pertumbuhan masih sangat timpang. Dari sisi produksi, lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum mendominasi dengan kontribusi 22,76 persen. Sementara, dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga menyumbang 51,77 persen. “Ketergantungan ekstrem pada pariwisata membuat ekonomi Bali sangat rentan terhadap guncangan eksternal. Pandemi adalah bukti nyata,” tegas Prof. Sara.
Upaya diversifikasi ekonomi yang berjalan lambat terlihat dari industri pengolahan yang sempat mengalami kontraksi -0,09 persen pada triwulan I tahun 2025. Ini menandakan lemahnya sektor alternatif non-pariwisata. Selain itu, pertumbuhan ekonomi belum merata secara spasial. Aktivitas ekonomi masih terkonsentrasi di kantong-kantong pariwisata Bali Selatan, sedangkan wilayah lain tertinggal.
Prof. Sara juga mengingatkan risiko jangka panjang berupa pergeseran nilai lokal akibat orientasi ekonomi yang terlalu berpusat pada pariwisata massal. Sejumlah sektor dinilai memiliki potensi besar namun belum dimaksimalkan, antara lain pertanian dalam arti arti luas.
“Pertanian adalah pondasi ketahanan pangan Bali, namun kontribusinya terus menurun akibat alih fungsi lahan. Potensi pertanian organik ekspor, hortikultura premium, dan revitalisasi subak sebagai warisan dunia UNESCO belum digarap optimal,” katanya.
Selanjutnya, UMKM yang terbukti menjadi penyelamat ekonomi saat pandemi Covid-19. Ia menilai, sejauh ini sektor UMKM masih menghadapi kendala akses pembiayaan, literasi digital rendah, dan dominasi sektor informal. Produk lokal, startup digital, IT, film, game, dan desain masih minim dukungan kebijakan sebagai industri mandiri. Wilayah pesisir seperti Buleleng, Karangasem, dan Jembrana memiliki potensi besar, namun pembangunan masih terpusat di Bali Selatan. (Suardika/bisnisbali)










