Ketua KPU Afifuddin saat memberikan keterangan. (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu tengah mengalami krisis kepercayaan. Para komisioner KPU Pusat periode 2022-2027, kini didesak untuk mundur dan pemecatan.

Gelombang desakan pemecatan pun semakin menguat dari Kolisi Masyarakat Sipil, akademisi hingga pengamat demokrasi, yang menilai Lembaga penyelenggara pemilu itu gagal dalam menjaga integritas dan transparansi.

Sejumlah kebijakan dari kerahasian dokumen calon presiden hingga pelanggaran etik pimpinan KPU RI, menjadi dasar tuntutan agar presiden dan DPR merekomendasikan pemberhentian seluruh anggota KPU RI.

Desakan pemberhentian agar presiden dan DPR memberhentikan kolektif komisioner KPU RI, didasarkan atas mandat dari UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam pasal 10 ayat (9) UU Pemilu disebutkan bahwa Anggota KPU diusulkan oleh Presiden berdasarkan hasil seleksi tim independen, lalu dipilih DPR melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Hal ini berimplikasi, karena DPR berperan dalam seleksi dan persetujuan anggota KPU, DPR juga berwenang memberi rekomendasi pemberhentian kolektif jika terjadi pelanggaran berat yang menyebabkan KPU kehilangan legitimasi.

Kemudian, pasal 46 UU Pemilu menyebutkan, presiden mengajukan usul pemberhentian kolektif anggota KPU kepada DPR. DPR menerima usulan presiden untuk pemberhentian kolektif anggota KPU, kemudian memberikan persetujuan atau penolakan. Seandainya mendapatkan persetujuan DPR, selanjutnya Presiden mengeluarkan Keppres Pemberhentian Kolektif KPU RI. Setelah itu, presiden membentuk tim seleksi baru, lalu mengajukan nama calon anggota KPU untuk uji kelayakan dan kepatutan.

Baca juga:  Yuk ke Festival Way Kambas, 11-13 November 2017

Sementara, berdasarkan catatan berbagai sumber, Senin (22/9), sejak dilantik, KPU RI periode 2022 – 2027, kerap menjadi sorotan karena berbagai keputusan yang dinilai merusak kepercayaan publik. Beberapa kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh KPU RI diantaranya:

1. Kerahasian Dokumen Persyaratan Calon Presiden/Wakil Presiden

Salah satu kebijakan paling kontroversial KPU RI Periode 2022-2027 adalah terkait dengan dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu 2024. Melalui keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025, KPU sempat menetapkan bahwa dokumen persyaratan pasangan capres – cawapres, seperti ijazah, surat keterangan Kesehatan, surat keterangan tindak pernah dipidana, laporan harta kekayaan dan dokumen penting lainnya, tidak boleh dipublikasikan kepada masyarakat tanpa izin dari calon yang bersangkutan.

Dokumen persyarakat calon presiden dan wakil presiden tidak dapat diakses publik tanpa persetujuan pemiliknya. Kebijakan ini dianggap bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik, mengurangi transparansi dan berpotensi menyembunyikan dokumen yang penting bagi pengawasan masyarakat.

Setelah mendapat tekanan publik yang kuat, akhirnya KPU RI mencabut keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025.

Baca juga:  Munas Konsolidasi Persatuan Kadin, Anindya Jadi Ketum dan Arsjad Ketua Dewan Pertimbangan

2. Pelanggaran Etika Ketua KPU

Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, beberapa kali mendapat sorotan karena pelanggaran etik, termasuk sanksi dari DKPP. Tuduhan pelanggaran kesusilaan, penggunaan fasilitas jet pribadi, serta kedekatan dengan tokoh politik tertentu memperburuk citra KPU sebagai Lembaga independen.

3. Manipulasi Verifikasi Partai Politik

Pada bulan Desember 2022, muncul laporan dari beberapa komisioner KPU Provinsi dan Kabupaten/kota, yang menyatakan adanya tekanan dari KPU RI untuk mengubah status verifikasi partai politik.

KPU RI memberikan tekanan kepada KPU daerah untuk mengubah status verifikasi partai politik dari Tidak Memenuhi Syarat (TMS) menjadi Memenuhi Syarat (MS). Jika itu benar, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan dalam proses verifikasi peserta pemilu.

4. PKPU Tenteng Eks Terpidana Korupsi

KPU RI periode 2022-2027 mengeluarkan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang memperbolehkan mantan terpidana korupsi langsung maju sebagai calon legislatif tanpa masa jeda lima tahun.

Syaratnya, caleg eks napi hanya diminta mengumumkan status terpidananya kepada publik melalui media massa.

Padahal, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberi ruang bagi mantan terpidana untuk kembali berpartisipasi dalam politik, dengan Batasan 5 tahun setelah selesai menjalani masa hukuman. Aturan ini pun diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan adanya masa jeda, dengan tujuan memberikan efek jera serta melindungi kualitas demokrasi.

Baca juga:  KPU Berikan Partai Prima Kesempatan Perbaikan Dokumen Persyaratan

Kebijakan ini dinilai melemahkan komitmen pemberantasan korupsi dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

5. Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Caleg

UU Pemilu mengamanatkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam daftar calon legislatif. Akan tetapi, pemilu 2024, implementasi aturan ini oleh KPU RI menimbulkan kontroversi besar. KPU dinilai tidak konsisten menjalankan ketentuan ini, bahkan mengabaikan putusan pengadilan terkait metode perhitungan kuota keterwakilan perempuan.

6. Sengketa Informasi Publik

Beberapa kali KPU menolak memberikan akses data penting kepada publik, misalnya terkait laporan dana kampanye dan informasi pencalonan legislatif.
Hal ini menimbulkan kritik keras dari masyarakat sipil dan menunjukkan lemahnya komitmen transparansi.

Desakan pemecatan KPU RI merupakan refleksi krisis demokrasi. Semua kebijakan kontroversi yang dikeluarkan oleh para komisioner ini menunjukan kegagalan sistemik. Demokrasi Indonesia hanya bisa selamat jika KPU direformasi secara menyeluruh. Presiden dan DPR diharapkan mengambil langkah tegas, untuk menyelematkan demokrasi dan keadilan pemilu. (Agung Dharmada/balipost)

BAGIKAN