Gerhana bulan total. (BP/Dokumen Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Fenomena gerhana bulan sejak dahulu kala menempati posisi penting dalam pandangan kosmologis masyarakat Hindu Bali. Peristiwa alam ini bukan hanya dipahami sebagai hasil perputaran benda langit, melainkan juga sebagai pertanda spiritual yang membawa pengaruh terhadap keseimbangan jagat raya.

Hal ini tampak jelas dalam sejumlah lontar atau naskah kuno Bali, yang menguraikan makna, mitos, hingga tata cara ritual yang perlu dilakukan ketika gerhana terjadi.

Kisah paling terkenal tentang gerhana bulan berasal dari Adiparwa, bagian awal dari epos Mahabharata, serta dikutip dalam beberapa lontar di Bali.

Diceritakan bahwa pada masa perebutan tirta amerta (air keabadian), raksasa bernama Rahu atau Kala Rau berhasil menyelinap dan ikut meminum amerta. Surya (matahari) dan Candra (bulan) yang melihat kejadian itu segera melaporkannya kepada Dewa Wisnu.

Menelan Surya Maupun Candra

Dengan cakra sudarsana, Dewa Wisnu memenggal tubuh Rahu. Namun, karena setetes amerta sudah sempat masuk ke kerongkongannya, kepala Rahu tidak bisa mati. Sejak saat itu, Rahu dipenuhi dendam dan berusaha menelan Surya maupun Candra.

Ketika gerhana bulan terjadi, diyakini bahwa Kala Rau sedang menelan Candra. Akan tetapi, karena Rahu hanya memiliki kepala tanpa tubuh, bulan tidak pernah benar-benar lenyap.

Baca juga:  Libur Panjang Akhir Pekan, Kunjungan ke Bali Meningkat

Ia selalu kembali muncul setelah beberapa saat. Kisah mitologis ini memberikan makna simbolis bahwa kegelapan yang menutupi cahaya hanyalah bersifat sementara, dan pada akhirnya terang akan kembali menguasai jagat.

Beberapa lontar di Bali memberikan arahan khusus mengenai gerhana. Lontar Purana Bali menegaskan kembali kisah Rahu sebagai dasar kosmologis gerhana dan menekankan bahwa saat gerhana terjadi, dunia berada dalam kondisi tidak suci (leteh).

Pada Lontar Tutur Bhuwana Kosa dijelaskan bahwa gerhana adalah tanda gangguan keseimbangan kosmis. Oleh sebab itu, umat Hindu dianjurkan untuk tidak melaksanakan upacara besar, karena hasilnya diyakini tidak akan sempurna.

Kemudian, Lontar Sundarigama, yang banyak menjadi pedoman ritual di Bali, memberikan aturan praktis mengenai makanan, air, dan sarana upacara harus ditutup selama gerhana. Sebab, diyakini pengaruh negatif dapat menempel pada benda-benda yang terbuka.

Kesucian Alam dan Manusia

Setelah gerhana usai, umat Hindu disarankan melakukan prayascitta (upacara penyucian) agar kesucian alam dan manusia pulih kembali.

Pada saat gerhana bulan, umat Hindu Bali biasanya tidak melakukan kegiatan adat atau upacara besar. Banyak keluarga memilih untuk berdiam diri di rumah, memperbanyak japa mantra, dan memusatkan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Suasana hening ini dimaknai sebagai bentuk penyelarasan diri dengan kondisi alam yang sedang tidak seimbang.

Baca juga:  Gempa Landa Selatan Jawa, Puluhan Guncangan Susulan Terjadi di Samudera Hindia

Di beberapa desa, umat juga menyiapkan tirta (air suci) dalam wadah tertutup sebelum gerhana berlangsung. Tirta digunakan setelah peristiwa selesai. Hal ini sesuai dengan ajaran lontar yang menekankan pentingnya menjaga kesucian sarana upacara dari pengaruh leteh.

Sesudah gerhana berlalu, biasanya dilakukan persembahyangan bersama serta upacara kecil penyucian, baik di tingkat rumah tangga maupun pura.

Di balik larangan dan aturan ritual, gerhana bulan mengandung pesan filosofis yang dalam. Umat Hindu Bali melihat fenomena ini sebagai pengingat akan sifat kehidupan yang berputar antara terang dan gelap, seimbang dan tidak seimbang.

Kisah Rahu mengajarkan bahwa keangkuhan dan ketamakan selalu membawa akibat, sementara cahaya kebenaran pada akhirnya akan kembali bersinar meskipun sempat ditelan kegelapan.

Menjaga Rta

Lontar-lontar yang membahas gerhana juga menegaskan pentingnya menjaga ṛta, yaitu hukum kosmis atau keteraturan alam. Manusia sebagai bagian dari jagat raya memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk ikut menjaga keseimbangan itu, baik melalui ritual, doa, maupun laku hidup sehari-hari yang penuh kesadaran.

Baca juga:  Status Darurat COVID-19 Diperpanjang hingga 29 Mei

Walaupun ilmu pengetahuan modern telah menjelaskan gerhana sebagai fenomena astronomi yang dapat dihitung dengan presisi, ajaran-ajaran lontar tentang gerhana tetap relevan. Umat Hindu Bali tidak menolak sains, tetapi melihatnya sebagai pelengkap dari pemahaman spiritual.

Gerhana bulan masih dipandang sebagai saat yang tepat untuk melakukan introspeksi, menyadari bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari jagat raya, dan memperbarui tekad untuk hidup selaras dengan alam.

Gerhana bulan dalam kepercayaan Hindu Bali adalah contoh bagaimana fenomena kosmik diterjemahkan ke dalam bahasa mitologi, sastra, dan ritual. Semuanya menunjukkan betapa peristiwa alam ini sarat makna.

Gerhana bukan sekadar fenomena bayangan bumi yang menutupi bulan, melainkan juga momentum spiritual yang mengajarkan kesabaran, kesadaran, dan penyucian diri.

Dengan demikian, gerhana bulan dipahami sebagai titik pertemuan antara ilmu pengetahuan, mitos, dan spiritualitas. Bagi umat Hindu Bali, ia tetap menjadi tanda sakral bahwa jagat raya hidup dalam siklus yang terus berulang, dan manusia diajak untuk selalu menjaga keselarasan dengan alam dan Sang Pencipta. (Dedy Sumarthana/balipost)

BAGIKAN