
DENPASAR, BALIPOST.com – Seiring dengan meluasnya aksi kericuhan di sejumlah daerah, akhir-akhir ini publik kembali disuguhkan dengan mencuatnya wacana darurat militer. Status ini dipandang sebagai solusi cepat untuk mengembalikan stabilitas negara.
Akan tetapi, langkah tersebut menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi memangkas kebebasan sipil dan mengancam prinsip demokrasi.
Ini tentu memantik pertanyaan, apakah eskalasi kerusuhan yang terjadi saat gelombang demontrasi sudah masuk kategori keadaan berbahaya?
Penetapan keadaan bahaya merupakan kewenangan dari Presiden. Hal ini diamanatkan Pasal 12 UUD 1945. Lebih lanjut dalam UU Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, dibagi dalam tiga status darurat, yaitu, darurat sipil, darurat militer dan darurat perang.
Presiden dalam menetapkan status darurat militer dengan penuh pertimbangan. Diantaranya, bila keamanan atau ketertiban negara diancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau bencana.
Kemudian alat-alat perlengkapan negara seperti Kepolisian, hukum sipil biasa, dianggap tidak mampu lagi mengatasi, dan adanya ancaman terhadap kedaulatan negara, integritas wilayah atau keselamatan bangsa.
Merujuk pada UU Keadaan Bahaya, kriteria darurat militer ditetapkan bila kondisi keamanan sudah melampau batas kemampuan polisi dan sipil.
Hal ini ditandai dengan adanya pemberontakan bersenjata atau konflik sipil besar, aparat kepolisian tidak mampu lagi mengendalikan, dan ada potensi meluas jadi perang saudara atau mengancam keutuhan negara.
Terhadap kriteria tersebut, jika dibandingkan dengan situasi yang terjadi saat ini, gelombang demonstrasi yang berujung anarkis dan meluas di beberapa daerah masih dikatagorikan sebagai gangguan ketertiban umum.
Selama polisi dan aparat sipil masih mampu menanganinya, meskipun dengan bantuan TNI, belum dapat dikategorikan masuk darurat militer.
Darurat militer akan relevan jika ada gerakan separatis, ada penguasaan wilayah oleh kelompok bersenjata, atau negara sipil benar-benar lumpuh. Sehingga dari relevansinya itu, kericuhan sosial atau demo anarkis yang terjadi selama ini, belum bisa secara otomatis disebut memenuhi kriteria darurat militer.
Sedangkan di sisi lain, jika darurat militer diterapkan konsekuensinya sangat besar. Militer akan mengambil alih fungsi pemerinthan sipil, termasuk kepolisian.
Sejumlah hak warga negara dapat dibatasi, mulai dari penerapan jam malam, larangan berkumpul, pembatasan pergerakan, hingga kemungkinan peradilan militer bagi warga sipil dalam kasus tertentu.
Catatan sejarah Indonesia yang dikutip, Senin (1/9), darurat militer pernah diterapkan di Indonesia, antara lain saat menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta pada 1950-an.
Dari pengalaman itu, darurat militer sering diwarnai dengan praktik otoriter. Militer tidak hanya mengurusi ekamanan, tetapi juga masuk ke ranah politik dan pemerntahan.
Hal inilah yang dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas demokrasi, bahkan menciderai prinsi negara hukum. (Agung Dharmada/balipost)