
DENPASAR, BALIPOST.com – Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) setiap tahun Kembali menuai sorotan. Pro-kontra muncul, hingga menimbulkan pertanyaan terhadap efektivitas penetapan UMP setiap tahun.
Penetapan UMP dinilai belum menjawab kebutuhan riil pekerja di lapangan. Bahkan, serikat buruh menilai formula perhitungan dari UMP lebih berpihak pada pengusaha, sementara pemerintah daerah terjebak dalam kewajiban formal.
Reaksi buruh dalam aksi yang dilakukan 28 Agustus, salah satunya menjadi momentum desakan revisi kebijakan dalam hal penetapan UMP.
Sejatinya, UMP merupakan standar penghasilan paling rendah yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekarja. Penetapan UMP merupakan kewenangan dari Gubernur.
Penetapan dilakukan setiap tahun dengan memperhatikan inflasi, pertumbuhan, kebutuhan hidup layak (KHL), serta kondisi pasar kerja.
Akan tetapi, dalam pratiknya formulasi pernghitungan lebih menekankan pada factor ekonomi makro, sehingga sering tidak sejalan dengan konsisi riil biaya hidup pekerja.
Bagi pekerja, UMP dianggap terlalu rendah dibandingkan kebutuhan sehari-hari yang terus melonjak, terutama Ketika Harga pangan dan transportasi meningkat.
Buruh atau pekerja menilai pemerintah lebih berpihak kepada kepentingan investasi disbanding memperhatikan kesejahteraan pekerja.
Sedangkan disisi lain, pengusaha kerap mengeluhkan bahwa kenaikan UMP tahunan menambah beban produksi, terutama bagi UMKM dan sektor padat karya. Kondisi ini membuat pemerintah daerah berada di pisisi delematis.
Secara hukum, sebagaimana dikutp dari JDIH BPK, Kamis (28/8), penetapan UMP diatur dalam Undang – Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian disempurnakan melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Secara teknis, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dari sudut pandang hukum, penetapan UMP tahunan memang memberikan kepastian normatif, berupa standar minimum upah yang wajib ditaati. Hanya saja, efektivitas dari pemberlakuan norma tersebut kemudian dipertanyakan dengan alasan pengawasan yang lemah, banyak perusahaan masih membayar di bawah UMP tanpa sanksi tegas.
Kemudian UMP dinilai tidak adaptif. UMP hanya ditetapkan sekali setahun, sementara Harga kebutuhan bisa melonjak sewaktu-waktu.
Dalam hal keterlibatan, perhitungan upah hanya formalitas melalui dewan pengupahan, dan terjadi kesenjangan daerah. Kebutuhan hidup disetiap wilayah berbeda, tetapi UMP hanya ditetapkan secara provinsi.
Sederetan alasan tersebut diatas, kemudian dipandang sebagai bentuk protes terhadap formula UMP yang dinilai tidak adil. Ini menjadi salah satu alasan serikat pekerja mengagendakan demontrasi hari Kamis, 28 Agustus.
Aksi tersebut sebagai penanda bahwa persoalan pengupahan belum menemukan titik keseimbangan antara kepastian hukum, kepentingan investasi, dan kesejahteraan pekerja. Diperlukan revisi formula UMP yang lebih adaptif terhadap dinamika kebutuhan pokok yang lebih nyata. (Agung Dharmada/Balipost)