
DENPASAR, BALIPOST.com – Rapat koordinasi terkait kelangkaan LPG 3 kg atau biasa disebut Gas Melon antara DPRD Bali, Pemerintah Provinsi Bali, dan Pertamina sempat tegang, Senin (25/8).
Rapat sempat tegang lantaran DPRD tidak puas dengan jawaban pihak Pertamina Patra Niaga wilayah Bali yang mengklaim tidak ada hambatan dalam penyaluran.
“Anda petugas kami pun juga hanya petugas! Rakyat menuntut kami agar mereka besok bisa berjualan agar besok bisa memasak. Kami minta solusi!” tegas legislator yang merupakan anggota Komisi III, I Nyoman Laka.
Dikatakannya, minggu depan Komisi III DPRD Bali berencana ke Jakarta bertemu dengan Kementerian ESDM, untuk mencari solusi agar kuota gas melon di Bali di tambah.
“Kita jadwalkan ke Jakarta bertemu kementerian ESDM, untuk membicarakan masalah gas ini, sehingga mendapatkan solusi yang tepat. Kuota gas LPG di Bali tidak hanya digunakan masyarakat Bali saja tetapi juga pendatang ber-KTP luar Bali, mereka pedagang banyak, mereka jualan, menggunakan LPG. Kami akan siapkan data valid,” tegasnya.
Sementara Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Wiryanata membenarkam kondisi di lapangan pengguna LPG 3 Kg tidak hanya warga ber-KTP Bali atau yang warga yang diperuntukan dalam data DTKS. Tetapi juga UMKM dan masyarakat ber-KTP luar daerah.
“Jadi penyebabnya yang perlu diuraikan, tapi penduduk pendatang dan kasat mata yang bersangkutan memang berhak seperti dagang bakso, pecel lele, tapi secara kasat mata KTP mereka bukan KTP Bali,” ujarnya.
Wiryanata mengatakan Disperindag Bali telah membuat semacam Satgas Pemantauan dan Pengawasan terhadap kelangkaan LPG 3 Kg di Bali. Tim ini melibatkan pihak Pertamina, Hiswana Migas dan UPTD terkait seperti Satpol PP.
Setelah turun ke lapangan, Wiryanata mengatakan ternyata kuota realisasi LPG 3 Kg ini turun dibandingkan 2024 lalu. Sementara permintaan terus terjadi.
Penambahan Kuota di Bali
Ia mengatakan Disnaker ESDM Bali juga telah mengambil tindakan dengan mengajukan surat ke Pertamina untuk penambahan kuota di Bali.
Ia tidak mengetahui siapa yang bertanggung jawab terkait jumlah penduduk pendatang di Bali.
Jika dilihat dari DTKS penduduk pendatang ini tidak terdaftar, sebab mereka bukan berasal dari Bali. “Mereka datang dari Banyuwangi, Lamongan dan lain-lain. Mereka masih KTP luar Bali tak masuk kuota di Bali. Inilah dalam tanda petik yang ambil hak masyarakat Bali,” ungkapnya.
Namun, data penggunaan LPG 3 Kg pada UMKM non KTP Bali ini belum valid karena memang belum ada kajian terkait hal tersebut. Tetapi jika dilihat dari lalu lintas masyarakat ke Bali kan sangat luar biasa dan hampir sebagian besar UMKM atau pedagang kaki lima menggunakan LPG 3 kilogram.
“Sementara kuota yang dikasih ke Bali ini kan sesuai yang disampaikan Kadisnaker dasarnya adalah dari DTKS, tapi fakta dilapangan kan selalu kurang Karena memang ya bahasa kasarnya tidak tepat sasaran,” katanya.
Ke depannya akan dibuat semacam forum koordinasi terkait LPG 3 kilogram sampai paling bawah, yakni di tingkat desa dan kelurahan. Sehingga begitu langka di satu titik bisa segera diintervensi bersama.
Sedangkan untuk pengalihan UMKM yang semula menggunakan LPG 3 Kg menjadi 5 Kg sudah berjalan dari Pertamina. Usaha yang tidak berhak menggunakan LPG 3 Kg, seperti Horeka atau bisnis di sektor jasa makanan dan minuman seperti di Hotel, Restoran, dan Katering, Kafe, usaha-usaha laundry dan lainnya.
“Tapi kalau yang rumah tangga memang berhak, apalagi masuk DTKS itu ya pasti mereka sangat berhak,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)