
DENPASAR, BALIPOST.com – Dibanding menerapkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBBP2) Indonesia sebenarnya memiliki ruang fiskal yang besar dengan potensi penerimaan baru mencapai Rp469–524 triliun setiap tahun melalui penerapan pajak alternatif yang progresif.
Potensi ini bersumber dari penerapan pajak-pajak yang lebih adil terhadap sektor digital, karbon, kekayaan, dan aktivitas ekonomi yang selama ini belum dikenai pajak.
Selain itu, penghapusan insentif pajak prokonglomerat dan penyesuaian tarif PPN ke arah yang lebih rendah namun adil secara sosial, turut memperkuat skema ini. “Dengan demikian, negara sangat mungkin untuk menumbuhkan penerimaan tanpa harus memperbesar beban kelompok rentan,” kata pengamat ekonomi Bhima Yudhistira, Selasa (19/8).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) ini menyampaikan, ada alternatif pendapatan, harta karun yang sengaja tidak digali. Itu antara lain, pajak kekayaan merupakan salah satu pajak progresif yang dikenakan atas total kekayaan bersih milik individu, meliputi aset tanah, properti, saham, kendaraan, karya seni, dan simpanan rekening.
Pajak kekayaan menjadi kontribusi dari mereka yang paling diuntungkan oleh sistem ekonomi kepada masyarakat luas. Perhitungan potensi penerimaan negara apabila diterapkan hanya pada 50 orang terkaya di Indonesia dengan asumsi tarif 2% dari total 16 kekayaannya, maka akan terkumpul sebesar Rp81,56 triliun setiap tahunnya.
“Barisan 50 orang terkaya tersebut memiliki kekayaan terendah sebesar Rp15 triliun dan rerata kekayaannya mencapai Rp159 triliun. Dengan demikian, potensi pajak kekayaan sesungguhnya akan lebih besar,” jelasnya.
Pajak Penghilangan Keanekaragaman Hayati
Selanjutnya ada pajak penghilangan keanekaragaman hayati (biodiversity loss tax). Pajak biodiversity loss adalah instrumen pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha, industri, dan proyek pembangunan yang terbukti mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dalam bentuk deforestasi, konversi lahan, dan eksploitasi bentang alam, kepunahan spesies, dan berbagai kerusakan degradatif lainnya.
“Potensi penerimaan negara dari skema kompensasi pajak atas hilangnya keanekaragaman hayati mencapai Rp48,58 triliun per tahun,” ujarnya.
Ada pajak digital adalah instrumen pemajakan atas aktivitas ekonomi yang berlangsung di ranah digital, seperti penjualan barang dan jasa digital, iklan online, layanan streaming, dan platform digital lintas negara. Potensi penerimaan negara dari pajak digital progresif diperkirakan sekitar Rp22,5 triliun – Rp29,5 triliun per tahun.
Pajak Karbon
Tim Celios juga mencatat pajak karbon adalah pungutan yang dikenakan terhadap emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO₂), yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi seperti industri, pembangkitan listrik, dan transportasi.
Tujuannya adalah memberi tarif pada polusi, mendorong pelaku usaha mengurangi emisi, serta mendorong peralihan ke energi bersih dan teknologi ramah lingkungan. Potensi penerimaan negara dari pajak karbon mencapai Rp76,36 triliun per tahun.
Pajak Capital Gain menyasar keuntungan yang diperoleh dari kenaikan nilai aset. Pajak ini berlaku ketika penjualan atau pengalihan aset lebih tinggi dibandingkan harga belinya dengan memperhatikan ambang batas tertentu.
Umumnya diterapkan pada aset investasi meliputi properti, saham, dan obligasi. Potensi penerimaan negara dari tarif pajak capital gain saham dan obligasi diperkirakan mencapai Rp7,03 triliun per tahun.
Pajak kepemilikan rumah ketiga adalah pungutan fiskal atas kepemilikan properti dengan nilai sangat tinggi, seperti rumah elit, apartemen premium, vila eksklusif, dan bangunan komersial berstandar tinggi. Pajak kepemilikan rumah ketiga berpotensi meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp1-2,2 triliun per tahun.
Pajak Warisan
Ada pajak warisan adalah pungutan atas kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang kepada ahli warisnya, baik berupa tanah, rumah, saham, deposito, bisnis, atau aset lainnya. Penerimaan negara dari peningkatan tarif pajak warisan diperkirakan sekitar Rp6 triliun – Rp20 triliun per tahun
Pajak produksi batubara adalah instrumen fiskal yang dikenakan atas aktivitas ekstraksi dalam bentuk pungutan khusus berbasis kelebihan volume atau nilai produksi. Potensi penerimaan negara dari pajak produksi batubara diperkirakan mencapai Rp34,33 – Rp66,49 triliun per tahun.
Pajak windfall profit adalah pajak tambahan yang dikenakan atas keuntungan bagi perusahaan atau akibat lonjakan harga pasar yang tidak disebabkan oleh upaya kinerja sendiri melainkan faktor eksternal atau dinamika pasar. Potensi penerimaan negara dari pajak windfall profit sektor ekstraktif diperkirakan mencapai Rp49,97 triliun per tahun.
Cukai Minuman Berpemanis
Begitupula cukai minuman berpemanis merupakan pungutan khusus yang dikenakan atas minuman kemasan yang mengandung tambahan gula, baik dalam bentuk cair seperti sirup, teh manis dalam kemasan, dan minuman berkarbonasi maupun dalam bentuk serbuk. Potensi penerimaan negara dari cukai minuman berpemanis mencapai Rp3,9 triliun per tahun.
Pengakhiran insentif pajak prokonglomerat merujuk pada upaya reformasi kebijakan perpajakan yang selama ini memberi pengecualian, penangguhan, pengurangan, bahkan pembebasan pajak kepada korporasi besar tanpa justifikasi manfaat ekonomi yang jelas bagi masyarakat.
Potensi realokasi belanja perpajakan yang selama ini lebih menguntungkan konglomerat akan mengumpulkan penerimaan sebesar Rp137,4 triliun. Penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dengan cara mengurangi persentase pungutan PPN atas konsumsi barang dan jasa.
Sementara PPN itu sendiri adalah pajak tidak langsung pada setiap tahap rantai produksi dan distribusi yang dibebankan kepada konsumen akhir. “Potensi penerimaan pajak bersih secara tidak langsung dari penurunan tarif PPN adalah Rp1 triliun per tahun,” jelasnya. (Suardika/bisnisbali)