Ketua MDA Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet. (BP/Win)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, menanggapi polemik terkait batas-batas kewenangan MDA terhadap desa adat yang saat ini masih menjadi perdebatan.

Sukahet menegaskan bahwa antara MDA dengan desa adat tidak pernah ada perselisihan. Justru yang ada adalah perselisihan di desa adat.

“Dari dulu tidak ada (perselisihan antara MDA dengan desa adat,red), yang ada adalah terjadi perselisihan di desa adat. Bahkan sampai konflik di Desa Adat tidak bisa diselesaikan di Desa Adat. Mereka menyerahkan ke MDA untuk diselesaikan, sesuai dengan Perda,” ungkap Sukahet saat ditemui usai Upacara Peringatan Hari Jadi ke-67 Provinsi Bali, di Lapangan Renon, Kamis (14/8).

Baca juga:  Tunjukan Lencana Anti Korupsi Untuk Memeras, Dua Pelaku Diamankan

Ia mengatakan bahwa sebuah kewajiban bagi MDA untuk menyelesaikan konflik di desa adat tersebut dengan sebuah sistem. Karena MDA Bali diberikan kewajiban memutuskan, maka ia menilai harus mengeluarkan keputusan yang sama seperti pengadilan.

“Nah, ratu tanya sekarang, apa ada yang berperkara itu dua-duanya bersorak? Pasti ada yang tidak puas kan? Nah itu risiko memang akhirnya mereka demo. Kalau bisa Majelis Desa Adat tidak mengeluarkan keputusan. Rekomendasi saja begitu kayak dulu itu. Tapi siapa yang nanti kalau ada masalah? Konflik? Sama-sama memukul mereka misalnya. Terjadi kekacauan hebat di desa adat. Makanya itu dibawa masalahnya adalah masalah di Desa Adat. Tidak ada masalah ini,” tegasnya.

Baca juga:  Kompensasi Kerjasama Pasar Senggol, Desa Adat Gianyar Ditawari Rp400 Juta Setahun

Ia pun menjamin bahwa otonomi desa adat tetap 100 persen utuh tidak akan diganggu oleh negara, gubernur dan MDA.

“Misalnya, bendesanya, orang baru lahir pun kalau memang diturunan misalnya, kita bantu keluarkan SK. Supaya ada pegangan pemerintah,” tandasnya.

Sukahet mengajak semua pihak agar berpikir positif tentang desa adat dan MDA serta tak melakukan adu domba. Otonomi desa adat penuh tetap dihormati, fungsi MDA adalah pada tataran Bali mawacara dan negara mawatata.

“Artinya supaya sesuai antara desa mawacara dengan Bali mawatata. Misalnya ada Perda, ada peraturan gubernur, ada undang-undang, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Seperti itu. Nah, di situ MDA membina, karena di MDA ahli-ahli semua dari akademisi, segala macam. Ya, pensunan jeneral. Di situ semuanya,” terangnya.

Baca juga:  Karena Ini, Satpol PP Badung Hentikan Penataan Lapangan Lumintang

Sementara untuk pengukuhan ia mengatakan hal tersebut merupakan acara seremonial saja. Bahkan ia membandingkan dirinya yang dikukuhkan oleh Gubernur.

“Apakah ratu MDA diintervensi oleh gubernur? Tidak. Bendesa Agung dipilih oleh desa adat semuanya. Cuma siapa yang mengukuhkankan? Ya Gubernur lah. Supaya ada saja seremonial itu. Yang paling penting adalah di situ, di desa adatnya. Siapa yang memilih? Paruman yang memilih, mereka memilih. Dari mereka untuk mereka. Sesuai dengan desa mawacara. Otonomi mereka, penuh itu,” ungkapnya. (Ketut Winata/Balipost)

BAGIKAN