
DENPASAR, BALIPOST.com- Incenerator bukan satu-satunya solusi permasalahan sampah yang menghantui Bali. Pasalnya incenerator juga menghasilkan polusi yang juga berbahaya bagi kesehatan terutama pernafasan.
Pengamat lingkungan Nyoman Mardika mengatakan, saat ini masyarakat berpikir solusi dengan incenerator dapat diimplementasikan di masing-masing desa. Padahal incenerator juga menghasilkan polusi dan tidak ramah lingkungan. “Ini fakta. Coba keliling ke desa-desa, mindsetnya adalah incenerator, bukan pengelolaan dan pengolahan,” ujarnya.
Ia melihat bahwa semangat Pemprov dalam penanganan sampah tidak berbanding lurus dengan kabupaten /kota dan keberpihakan anggaran. “Anggaran APBD Provinsi Rp6,8 Triliun, hanya Rp2,5 Miliar untuk penanggulangan sampah. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup menstandarisasi 3 persen APBD kabupaten/kota dan provinsi untuk penanggulangan sampah,” ujarnya.
Bahkan dalam penanggulagan sampah agar menggunakan dana desa, sedangkan penggunaan dana desa sudah ada aturannya. Hal ini menjadi dilematis dan berupaya dicarikan jalan keluar. ‘Karena harapan Gubernur, Wali Kota dan Bupati agar menangani sendiri sampah dari sumbernya melalui anggaran yang ada di desa, tapi desa sendiri kebingungan dalam mengelola anggaran itu untuk penanggulangan sampah,” tandasnya
Sementara dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait pengelolaan sampah, implementasinya dinilai belum optimal karena sebatas imbauan, belum terimplementasikan secara optimal.
“Menyelenggarakan sudah, tapi implementasi belum optimal karena regulasi itu implementasinya tidak hanya sebatas di provinsi saja tapi bagaimana tanggung jawab kabupaten/kota untuk bisa menerapkan regulasi yang dikeluarkan Bapak Gubenur. Bahkan sudah ada regulasi yang dikeluarkan di Denpasar, Badung dan kabupaten lain, hanya saja belum bisa maksimal,” ujarnya.
Permasalahannya adalah penerapan regulasi ini memerlukan kesadaran publik yang maksimal. “Apakah masyarakatnya sudah sadar, sebagian sadar, sebagian besar belum,” tandasnya.
Misalnya ada kelompok masyarakat secara sadar sudah membuat teba modern, pemilahan dan pengolahan sampah juga sudah. Namun belum dilaksanakan oleh masyarakat secara keseluruhan.
Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sekar Tanjung Desa Sanur Kauh I Putu Sila Dharma mengatakan, incenerator hanya untuk residu. Pemilahan tetap wajib dilakukan. “Itu bagian dari usaha mengubah mindset. Jadi tidak hanya berpatokan pada incenerator saja,” tandasnya.
Incenerator menjadi salah satu solusi dan bukan satu-satunya. Ia pun ingin menggunakan incenerator untuk penanganan residu.
Residu jika dibakar di incenerator akan menjadi abu yang mengandung perekat. Jika dibuat menjadi paving blok menurutnya akan lebih kuat dan ringan. “Namun untuk mengelola residu dari pembakaran incenerator harus dibuatkan unit khusus di luar TPS 3R,” ujarnya.
Sementara Wakil Wali Kota I Kadek Agus Arya Wibawa mengatakan, Pemkot berkomitmen dalam penanganan sampah di Denpasar dari hulu ke hilir. Salah satu langkah strategis yang diambil melalui Integrated Sustainable Waste Management Programme (ISWMP). Pola ini dengan kerjasama antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Direktorat Sanitasi, dan Bank Dunia. “Pemkot Denpasar tetap mengoptimalkan pengelolaan sampah dengan mengusung pendekatan inovatif, salah satunya melalui inovasi teba modern,” ujarnya. (Kmb/Balipost)