
TABANAN, BALIPOST.com – Bagi sebagian besar masyarakat Bali, sayur timbul (jukut timbul) mungkin menjadi santapan yang biasa. Namun, hal itu tidak berlaku bagi warga asli Desa Adat Sanggulan, Desa Banjar Anyar, Kecamatan Kediri, Tabanan.
Sejak zaman leluhur, krama adat Sanggulan memegang teguh pantangan untuk tidak mengonsumsi jukut timbul.
Pantangan ini bukan sekadar mitos. Konon, sejumlah warga pernah mengalami sakit perut parah setelah tanpa sengaja menyantap jukut timbul saat terlibat dalam kegiatan yadnya di luar desa. Anehnya, sakit tersebut tak bisa diobati secara medis, dan baru sembuh setelah mereka memohon maaf serta nunas tirta di Pura Peneduhan.
Menurut Bendesa Adat Sanggulan, I Ketut Suranata, Pura Peneduhan merupakan salah satu Pura Kahyangan desa yang letaknya tidak jauh dari sebuah goa yang kini dikenal sebagai Goa Raksasa. Goa ini diyakini menjadi asal-usul pantangan terhadap jukut timbul.
“Dulu, saat para leluhur menggelar Karya Agung dan mempersembahkan Tari Rejang, selalu terjadi hal aneh. Penari di barisan terakhir kerap hilang secara misterius. Akhirnya, salah satu penari diberi kantong beras gerabah berlubang untuk melacak arah kepergiannya,” ujar Suranata.
Dari jejak beras itulah, diketahui sang penari masuk ke dalam goa dan diculik oleh sosok raksasa yang sangat sakti. Berbagai upaya dilakukan untuk membunuh raksasa itu dengan senjata tajam, namun tak ada yang berhasil.
“Leluhur akhirnya membakar alang-alang di mulut goa untuk memaksa raksasa itu keluar. Setelah itu, raksasa menyatakan dirinya hanya bisa mati dengan satu cara yaitu ditusuk ranting pohon timbul. Tapi, ada syaratnya seluruh krama Desa Adat Sanggulan dikutuk tidak boleh makan sayur timbul selamanya,” paparnya.
Kutukan itu hingga kini masih dijunjung tinggi. Tak hanya krama asli, mereka yang menikah masuk ke lingkungan adat pun ikut mematuhi larangan ini. Bahkan, warga Sanggulan yang menikah ke luar desa pun dikabarkan tetap menjaga pantangan tersebut. (Puspawati/balipost)