Tradisi unik metampelan, sebuah ritual sakral yang digelar setiap tahun bertepatan dengan purnama sasih kapat sebagai bagian dari rangkaian upacara pujawali. (BP/Istimewa)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Di tengah arus modernisasi, Desa Adat Lemukih, Kabupaten Buleleng, tetap kokoh menjaga warisan budaya leluhur. Salah satunya adalah tradisi unik metampelan, sebuah ritual sakral yang digelar setiap tahun bertepatan dengan purnama sasih kapat sebagai bagian dari rangkaian upacara pujawali.

Tradisi metampelan berlangsung selama tujuh hari penuh di Pura Desa, Desa Adat Lemukih. Dalam prosesi ini, sepasang teruna-teruni saling melempar lumpur yang telah dicampur air, sebagai simbol penyucian diri lahir dan batin.

Ritual ini menjadi puncak acara keagamaan dan menandai berakhirnya proses pemberataan desa. Menariknya, metampelan tidak dilakukan sembarangan.

Hanya pasangan teruna-teruni yang dianggap telah memasuki usia dewasa yang diperbolehkan mengikuti ritual ini, meski tidak semua dari mereka akan langsung menikah. Sebelum prosesi ini digelar, warga desa dilarang melangsungkan upacara manusa yadnya seperti pernikahan.

Baca juga:  Didampingi Menteri PPPA dan Wameparekraf, AHY Buka PKB XLVI

Salah satu bagian paling dinanti dalam ritual ini adalah kejar-kejaran antara teruna-teruni dengan seorang kubayan (tetua desa) usai pelemparan lumpur. Jika sang teruni berhasil menangkap pasangannya dalam batas waktu yang ditentukan, maka pasangan itu akan diarak menuju Bale Agung atau Pura Desa, sebagai simbol restu adat dan spiritual.

Perbekel Desa Lemukih, Nyoman Singgih, menjelaskan bahwa secara filosofis, metampelan merupakan simbol penyucian diri dan pengusiran energi negatif, baik dari individu maupun desa secara keseluruhan. “Ritual ini diyakini sebagai bentuk tolak bala untuk menjaga desa dari berbagai penyakit dan malapetaka,” jelasnya, Kamis (3/7).

Baca juga:  PGRI Bali Dukung Program “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”

Tradisi ini dilakukan di Pura Taman Beji Kayoan, yang dipercaya sebagai sumber air suci (tirta). Tirta dari pura ini digunakan dalam seluruh rangkaian penyucian dan piodalan di Pura Desa.

Sebelum upacara dimulai, para peserta wajib mepiuning dan nunas tirta, sebagai bentuk permohonan restu dan pembersihan spiritual.

Masyarakat setempat percaya, ritual ini mampu melindungi anak perempuan yang belum dewasa dari gangguan makhluk halus atau raksasa, sesuai cerita rakyat yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.

Baca juga:  Desa Adat Manikliyu Rayakan Galungan “Mabunga”

Pelaksanaan tradisi ini diatur berdasarkan dewasa ayu dan hasil kesepakatan musyawarah adat yang melibatkan para tetua desa dan pemangku. Menjelang akhir ritual, peserta akan melakukan pembersihan diri di sumber air suci sebagai penutup.

Proses ini diyakini menyucikan baik fisik maupun batin, mencerminkan nilai-nilai ajaran Hindu yang menekankan pentingnya keseimbangan spiritual dalam kehidupan. Tradisi ini juga memiliki konsekuensi adat.

Tercatat dalam cerita lokal, seorang truna dan truni pernah mengalami sakit karena tidak mengikuti metampelan. Sejak saat itu, ritual ini dianggap wajib bagi teruna-teruni yang menginjak usia dewasa. (Nyoman Yudha/balipost)

BAGIKAN