
DENPASAR, BALIPOST.com – Setiap Ngembak Geni, suasana Desa Adat Kedonganan, Badung, tampak berbeda. Sehari setelah sepi menyelimuti Bali saat Hari Raya Nyepi, warga Kedonganan justru tumpah ruah ke pesisir dan hutan bakau.
Mereka bukan hendak memancing atau sekadar berekreasi, melainkan mengikuti satu tradisi sakral yang disebut Mebuug-Buugan.
Tradisi ini kerap dijuluki “perang lumpur”. Namun bagi warga setempat, prosesi ini jauh lebih dalam daripada sekadar saling lempar lumpur. Berikut makna dan fakta menarik di balik ritual Mebuug-Buugan:
1. Dilaksanakan Setiap Ngembak Geni
Mebuug-Buugan digelar setiap tahun pada Ngembak Geni, yaitu sehari setelah Hari Raya Nyepi. Ini adalah momen masyarakat kembali bersosialisasi setelah sehari penuh berdiam dan menyepi, sekaligus membersihkan diri dari energi negatif.
2. Prosesi Dimulai di Hutan Bakau Kedonganan
Ritual dimulai dari hutan mangrove di pesisir barat Kedonganan. Para pemuda desa turun ke rawa dan membalurkan tubuh dengan lumpur. Setelah itu mereka berarak sambil saling melumuri tubuh satu sama lain.
3. Makna Spiritual: Pembersihan Diri dan Energi Negatif
Lumpur dipercaya sebagai simbol pembersih—bukan hanya kotoran fisik, tetapi juga penyakit hati dan energi buruk. Melalui interaksi sosial dan keterlibatan fisik, Mebuug-Buugan menjadi bentuk penyucian dan penguatan rasa kebersamaan.
4. Pernah Hilang, Kini Bangkit Kembali
Tradisi ini sempat tak dilakukan dalam waktu lama. Namun masyarakat dan Desa Adat Kedonganan secara aktif menghidupkan kembali warisan leluhur ini sebagai bentuk pelestarian budaya Bali yang kian tergerus zaman.
5. Sering Disangka Tradisi Sesetan, Padahal Asli Kedonganan
Sebagian masyarakat luar Bali kadang menyamakan Mebuug-Buugan dengan tradisi Omed-omedan di Sesetan. Padahal, keduanya berbeda jauh baik dari segi tempat maupun makna. Mebuug-Buugan adalah tradisi asli Kedonganan, dengan akar kuat pada filosofi pembersihan pasca-Nyepi. (Pande Paron/balipost)