Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK RI Agusman. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Di tengah maraknya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau perusahaan pinjaman daring (pindar) atau pinjol, serta perusahaan multifinance agar mewaspadai risiko gagal bayar.

OJK mendorong seluruh pelaku industri keuangan non-bank agar tetap menerapkan prinsip kehati-hatian serta manajemen risiko yang baik.

“Perusahaan didorong untuk terus memperhatikan aspek kehati-hatian, memiliki manajemen risiko yang memadai, dan melakukan inovasi secara berkelanjutan untuk menekan meningkatnya risiko gagal bayar di tengah dinamika perekonomian domestik dan global,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman dalam Rapat Dewan Komisioner OJK di Jakarta, dikutip dari kantor beria Antara, Senin (19/5).

Baca juga:  Nasional Kembali Catat Penurunan Tambahan Kasus COVID-19

Dia mengatakan bahwa dinamika perekonomian, termasuk meningkatnya PHK memang perlu dicermati dampaknya terhadap industri multifinance maupun fintech peer to peer (p2p) lending.

Saat ini, OJK secara aktif memantau kondisi risiko kredit bermasalah di sektor pembiayaan. Per Maret 2025, rasio pembiayaan bermasalah (NPF gross) multifinance tercatat turun menjadi 2,71 persen.

Sementara, rasio kredit bermasalah 90 hari (TWP90) di industri pindar juga tetap terkendali di posisi 2,77 persen. Meski demikian, besarnya potensi permintaan pembiayaan akibat tekanan ekonomi masih perlu diwaspadai.

Adapun Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memperkirakan total penyaluran pinjaman daring (lending book) berpotensi mencapai Rp365,7 triliun pada 2025, tumbuh sekitar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp302,7 triliun.

Baca juga:  64 Persenan Pinjaman Mikro BRI Terdampak Aktivitas Gunung Agung

Huda mencatat bahwa hingga akhir 2024, penyaluran dari fintech p2p lending masih didominasi oleh sektor konsumtif dengan porsi mencapai 70 persen.

Padahal, sektor produktif seperti UMKM masih membutuhkan akses permodalan yang lebih luas.

Menurut dia, fintech p2p lending seharusnya dapat menjadi pintu masuk pembiayaan alternatif bagi pelaku usaha akar rumput, yang sering kali tidak terjangkau perbankan.

“Ini bisa menjadi peluang besar untuk menyalurkan dana ke pelaku usaha terkecil dengan proses yang cepat dan persyaratan yang lebih ringan,” katanya.

Baca juga:  Tren Peningkatan COVID-19 Terjadi, Positivity Rate Pekan Ini Sudah Lampaui Standar WHO

Lebih jauh, Huda menilai sektor ekonomi akar rumput justru menjadi penopang ketika terjadi perlambatan ekonomi dan gelombang PHK.

“Akar rumput ini bisa dibilang tough, resiliensinya tinggi. Mereka bisa menjadi savior bagi masyarakat yang terdampak PHK,” ujarnya.

Untuk mendukung ketahanan ekonomi akar rumput, ia mendorong adanya regulasi yang membangun ekosistem pendukung secara menyeluruh, mulai dari peran lembaga keuangan, akademisi, hingga sinergi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

“Peran dari pemerintah daerah penting untuk menjembatani kebijakan nasional dengan karakteristik dan kebutuhan pelaku ekonomi akar rumput di wilayah masing-masing,” ucap Huda. (Kmb/Balipost)

 

BAGIKAN