
DENPASAR, BALIPOST – Menjelang Hari Raya Trisuci Waisak, umat Buddha di Denpasar melaksanakan tradisi Pindapatta, yaitu memberikan persembahan makanan kepada para bhikkhu yang berjalan kaki mengelilingi kota.
Tradisi ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap para bhikkhu, tetapi juga simbol kebajikan, kesederhanaan, dan kebersamaan. Berikut lima makna penting dari tradisi Pindapatta yang dilaksanakan di Denpasar:
1. Prosesi Bhikkhu Menyusuri Jalan Gunung Agung
Pada Kamis, 1 Mei 2025, para bhikkhu berjalan kaki menyusuri Jalan Gunung Agung, Denpasar, menuju Vihara Buddha Sakyamuni.
Mereka membawa mangkuk derma (patta), sementara umat menanti di sepanjang jalan untuk mempersembahkan makanan secara langsung.
2. Pemberian Makanan sebagai Wujud Dana dan Welas Asih
Tradisi Pindapatta menekankan pada praktik berdana (dāna), yaitu memberi tanpa mengharapkan balasan. Dengan mempersembahkan makanan, umat melatih kedermawanan, kerendahan hati, dan penghargaan terhadap praktik spiritual para bhikkhu.
3. Ritual Sunyi Penuh Rasa Syukur
Meski dilakukan di ruang publik, suasana prosesi sangat tenang dan khusyuk. Baik bhikkhu maupun umat menjaga kesunyian dan rasa hormat. Tidak ada percakapan—yang hadir hanya ketulusan memberi dan kesadaran menerima.
4. Pengingat Jalan Tengah dan Kesederhanaan
Para bhikkhu tidak memilih makanan, melainkan menerima apa pun yang diberikan dengan penuh syukur. Ini mencerminkan prinsip hidup sederhana dan tidak melekat pada kenikmatan duniawi, inti dari ajaran Jalan Tengah Buddha.
5. Menumbuhkan Kebersamaan di Tengah Kota
Pindapatta menciptakan ruang kebersamaan lintas usia dan latar belakang. Bahkan warga non-Buddha yang menyaksikan turut menunjukkan rasa hormat dan kekaguman, menjadikan tradisi ini sebagai jembatan harmoni antarumat. (Pande Paron/balipost)