
Oleh Agung Kresna
Temuan adanya ratusan siswa tingkat SMP di Buleleng yang tidak bisa membaca dan menulis (Bali Post,n19/04/2025), tentu mengundang keprihatinan bagi publik/pihak terkait.
Apalagi selama ini Kota Singaraja dikenal dengan julukan Kota Pendidikan. Jangan-jangan kondisi seperti ini juga terjadi di wilayah lain di Bali, hanya mungkin datanya belum terungkap.
Jika ketidakmampuan membaca dan menulis ini bukan karena faktor disabilitas/disleksia, kita perlu menelusuri penyebab utamanya.
Kita yakin bahwa para siswa tingkat SMP tersebut sudah mengenal teknologi gadget/smartphone dan menggunakannya. Namun mengapa masih ada anak yang tidak bisa membaca dan menulis.
Hal ini karena pemanfaatan kemajuan teknologi melalui gadget –utamanya smartphone-, selama ini lebih banyak digunakan
untuk kegiatan “menonton/melihat” dan “mendengar”. Bukan untuk membaca informasi yang ditayangkan melalui perangkat gadget.
Akibatnya pengguna gadget kurang melatih kemampuan “membaca”nya, apalagi kemampuan “menulis”nya.
Sementara kemampuan literasi secara sederhana lebih dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis. Tanpa kemampuan dasar membaca dan menulis, niscaya seorang anak tidak akan dapat
mengembangkan pengetahuannya. Dalam tingkat lanjut, kemampuan literasi harus menghasilkan kemampuan untuk memahami apa yang dibaca dan ditulisnya.
Kegiatan “membaca” yang berlanjut dengan kegiatan “menulis”, dianggap sebagai upaya melatih keruntutan cara berpikir kita.
Mengingat bahwa dengan menulis, maka akan diketahui kemampuan cara berpikir kita; apakah cukup teratur/tertib atau justru berantakan.
Terutama kegiatan menulis manual dengan tangan, bukan menulis/mencatat dengan papan keyboard. Di tengah laju perubahan digital, sejumlah negara maju di Eropa justru memutuskan melakukan perlambatan. Mereka kembali memperkuat pembelajaran berbasis rujukan ke buku dan teks cetak, serta membiasakan murid menulis tangan, Metode yang dianggap jadul ini ternyata justru mampu membekali manusia modern dengan kemampuan literasi yang kuat.
Kementerian Pendidikan Swedia menyatakan menghentikan pemakaian gadget pada pembelajaran untuk siswa berusia enam tahun ke bawah mulai tahun ajaran 2023/2024. Murid Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diajak harus sering memanfaatkan perpustakaan serta bertanya langsung kepada para guru, serta belajar menulis dengan tangan.
Swedia sendiri mencatat terjadinya kemerosotan literasi warganya sepanjang periode 2016-2021. Kemampuan literasi Generasi Z warga Swedia tidak secakap generasi sebelumnya.
Perlu kita ketahui juga bahwa Swedia dalam tataran global menduduki peringkat teratas dalam literasi masyarakatnya. Jerman telah lebih dulu menerapkan pembelajaran analog di PAUD. Ini didukung banyak penelitian tentang pentingnya pembelajaran membaca dan menulis secara analog pada anak usia dini.
Sebagaimana makalah yang ditulis Karin Jarnes -seorang peneliti ilmu psikologi & otak di Universitas Indiana USA- dalam jurnal Association of Psychological Science Edisi 2017.
Sementara hasil penelitian Pam Mueller dari Universitas Princeton dan Daniel Oppenheimer dari Universitas California Los Angeles dalam makalah berjudul The Pen is Mightier Than the Keyboard (2014)-, menyimpulkan bahwa mahasiswa yang mencatat secara manual memiliki pemahaman yang lebih baik dibanding yang mencatat dengan laptop.
Meskipun menyenangkan, namun memakai gadget pada dasarnya telah memiskinkan anak dari latihan motorik. Menulis dengan tangan berarti memperbanyak latihan motorik halus dan kasar secara menyenangkan. Murid juga perlu diajak aktif bertanya kepada guru untuk mengajarkan mengenai individu yang bisa dijadikan narasumber.
Kita saat ini banyak terbuai oleh konsep pengenalan digitalisasi secara dini. Nyatanya kajian selama ini banyak menunjukkan bahwa pengenalan digitalisasi kepada anak-anak harus dilakukan secara bertahap dan terukur. Membaca buku fisik dari teks cetak terbukti tetap menjadi pondasi literasi yang mumpuni.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar