Luh Made Dwi Anom Damayanti. (BP/Istimewa)

Oleh Luh Made Dwi Anom Damayanti

Keberlanjutan menjadi salah satu topik menarik untuk diperbincangkan. Negara-negara di dunia menaruh atensi penuh terhadap keberlanjutan atau yang dikenal dengan sustainable development goals (SDGs).

SDGs yang dicetuskan oleh PBB ini bertujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi semua orang di planet ini. Seiring dengan perkembangan zaman, manusia justru merusak keseimbangan alam semesta.

Revolusi Industri Society 5.0 menimbulkan berbagai dampak di kehidupan manusia, khususnya dunia fashion. Fast fashion atau fesyen mengikuti tren terbaru, didefinisikan sebagai istilah untuk menggambarkan industri tekstil yang memproduksi pakaian dengan model yang silih berganti dalam waktu singkat. Fast fashion memungkinkan produsen untuk memperkenalkan koleksi baru ke pasar dalam hitungan minggu, bukan bulan. (Liberty Society, 2023).

Fast Fashion banyak digrandrungi oleh generasi muda. Dijual dengan harga relatif murah dan didasarkan pada tren yang sedang populer menjadi senjata utama perkembangan fast fashion. Dibalik daya tarik yang ditonjolkan, terungkap sejumlah bahaya dari fast fashion. Proses produksi pakaian melibatkan ekstraksi bahan baku, pembuatan, dan transportasi, yang semuanya mengkonsumsi sumber daya dan energi dalam jumlah besar.

Baca juga:  Gubernur Koster Ajak PKK Bergerak Bantu Masyarakat Hingga Dorong Penggunaan Produk Lokal Bali

Setiap tahap ini berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca, yang semakin memperburuk perubahan iklim (Plastic Pollution Blogger, 2024). Industri fashion menyumbang 10% dari total emisi karbon global dan merupakan salah satu penyebab utama pencemaran air menurut laporan dari Program Lingkungan PBB (UNEP) (Maiti, 2024).  Laporan ini menunjukkan dampak besar yang dihasilkan dari setiap tahap produksi dan konsumsi pakaian.

Poliester adalah salah satu bahan utama dalam industri fast fashion. Faktor utama dipilihnya poliester yaitu karena harganya yang terjangkau. Berasal dari bahan baku fosil menyebabkan poliester saat dicuci menimbulkan serat mikro yang dapat meningkatkan jumlah limbah plastik. Disisi lain poliester juga tidak dapat diuraikan yang malah menambah permasalahan limbah plastik di dunia (Plastic Pollution Blogger, 2024).

Bahan baku yang digunakan umumnya dicampur dengan air dan pestisida dalam jumlah besar. Sehingga membahayakan lingkungan, seperti meningkatkan risiko kekeringan, meningkatkan tekanan besar pada sumber air, menurunkan kualitas tanah, bahkan berbahaya bagi pekerja (Plastic Pollution Blogger, 2024). Jumlah air yang digunakan dalam produksi fast fashion ini mampu mengikis jumlah air dalam tanah. Sehingga menyebabkan penurunan kualitas air dan kelangkaan air di daerah yang bergantung pada sumber daya ini.

Baca juga:  Penggunaan Gas Air Mata Saat Demo Agar di Evaluasi

Penggunaan pewarna tekstil yang murah juga berisiko terhadap kesehatan manusia. Paparan bahan-bahan kimia dari pestisida dapat menimbulkan efek serius terhadap pekerja yang bersentuhan langsung. Iritasi kulit merupakan indikasi awal akibat penggunaan pestisida.

Pekerja akan langsung mengalami ruam, bengkak, gatal, nyeri, atau lepuh akibat kontak langsung dengan peptisida. Faktor lain yang dapat menimbulkan keracunan adalah bila pestisida ini terhirup, tertelan, dan tersentuh secara langsung. Dalam kasus yang parah, keracunan dapat berdampak mengancam nyawa.

Paparan pestisida juga berisiko menyebabkan gangguan reproduksi pada pekerja pria dan wanita. Pada pria, pestisida dapat menurunkan produksi dan kualitas sperma, sedangkan pada wanita, paparan ini dapat menyebabkan gangguan kesuburan, haid tidak teratur, dan risiko melahirkan prematur.

Baca juga:  Ketimpangan Semakin Lebar

Selain itu, paparan jangka panjang terhadap pestisida telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit serius seperti Parkinson dan berbagai jenis kanker seperti kulit, paru-paru, limfoma, payudara, prostat, ginjal, hati, leukemia (Alodokter, 2023).

Fast fashion juga mengambil peran signifikan terhadap penurunan jumlah populasi hewan. Industri fashion kerap menggunakan kulit hewan sebagai material utamanya. Hewan yang dipilih biasanya ular, macan, dan lainnya. Pengolahan kulit hewan tak hanya mengancam populasi hewan tetapi juga melibatkan berbagai zat kimia berbahaya (Nugroho, 2024).

Industri fast fashion mendorong banyak orang menjadi konsumtif mengikuti tren terbaru. Pakaian sesuai tren cenderung tidak dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang, pakaian ini sering kali digunakan satu atau dua kali sebelum dibuang. Hal ini akan menimbulkan sifat boros dan siklus konsumsi yang berbahaya. Setiap tahunnya industri fast fashion menghasilkan sekitar 92 juta ton limbah tekstil yang menjadikannya salah satu penyumbang terbesar limbah plastik (Malcheni Sangrawati, 2022).

Penulis, Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga

BAGIKAN