
Oleh Kadek Suartaya
Pandemi melandai, bumi tersungging, seni tari pun beriak. Riak dan lenggang seni tari dari penjuru jagat tampak berdenyut serangkaian Hari Tari Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 29 April.
Sebelumnya, 2020-2021, ketika petaka pandemi Covid-19 menerjang masyarakat dunia, aktivitas dan
 perhelatan tari secara internasional itu senyap
 terkungkung. Seringai virus corona yang merontokkan sendi-sendi kehidupan tak pelak berimbas membungkam kesenian, seni tari–salah satu
 ekspresi universal kebudayaan manusia.
Pada tahun 2020-2021 itu, tak tampak ada euforia keceriaan dan kekhusyukan gelaran puspa ragam
 tarian sebagai ungkapan perayaannya. Akan tetapi, memasuki pertengahan 2022 ini, nestapa nan merundung itu, syukur, mulai menepi.
Perayaan seni tari tersebut tampak kembali digelar di mancanegara, termasuk di sejumlah tempat di Indonesia. Di Bali walau menari bak keseharian masyarakatnya, geliat memaknai Hari Tari Sedunia itu
 juga diartikulasikan.
Namun, sejatinya, denyut letup seni pertunjukan–umumnya berunsur tari, sudah mulai menyingsing ketika pandemi agak mereda, pada awal 2022. Ritual keagamaan yang sebelumnya tanpa dilengkapi penampilan Topeng Sidakarya, Wayang Lemah, tari Rejang dan Baris, mulai disertakan.
Jika keadaan makin membaik dan kepariwisataan Bali pulih, seni pentas turistik pun akan kembali membuncah. Enyahnya pandemi akan memulihkan hakikat seni tari pada kemuliaannya sebagai untaian percikan religitransedental berbinar estetik-kultural, yang multi dimensi dan sarat makna.
Apa yang dikenal dengan tari tolak bala adalah
 ritual dengan media tari yang sama sekali bukan
 sebagai hiburan dan memang bukan untuk ditonton. Segenap partisipan yang terlibat dan hadir dalam konteks gelaran tari tolak bala ini adalah menyatu menjadi bagian dari ritual itu.
Selain bukan sebagai tontonan hiburan, jenis tarian
 yang umumnya disakralkan masyarakatnya ini, justru dihadirkan dengan takzim, salah satunya, ketika merebak dan menangkal wabah penyakit mematikan atau pageblug (Jawa) atau grubug (Bali) yang perlu ditanggulangi.
Masyarakat Bali, hingga kini masih banyak yang dengan setia mengusung beragam tari tolak bala yang disebut sanghyang. Sanghyang Dedari adalah salah tari tolak bala yang tersebar di Pulau Bali.
Sejumlah desa masih melestarikan beragam ritual tolak bala dalam wujud tari sanghyang. Hanya, disebabkan adanya tuntunan dari pemerintah melindungi masyarakat dari ganasnya wabah pandemi, tak memungkinkan masyarakat Bali menggelar beragam tari tolak balanya.
Teror pandemi mengerikan, meredam hadirnya kerumunan, termasuk kegiatan ritual tolak bala dan
 pentas seni tari sebagai tontonan, termasuk
 perayaan Hari Tari Sedunia tahun 2020 dan
 2021 itu. Pada tahun-tahun sebelum COVID-19
 menerjang, dari sejumlah tempat di Tanah Air,
 terselenggara beragam pentas seni tari, dari tari
 tradisional hingga tari modern kekinian.
Tahun 2017 misalnya, di Jawa Tengah (Jogyakarta dan Surakarta) dihadirkan pentas tari selama 24 jam.
 Pada tahun 2018, para mahasiswa ISI Denpasar
 secara khusus menggarap karya tari kolosal untuk
 merayakan Hari Tari Sedunia itu.
Karya tari yang diberi tajuk “Sanga Nritya Murti” tersebut melukiskan harmoni sembilan tari Bali yang diakui UNESCO-PBB sebagai warisan budaya dunia.
 Terpilihnya tanggal 29 April sebagai Hari Tari
 Sedunia merupakan bentuk penghormatan yang
 mengacu kepada hari lahir maestro tari, balet
 modern, Jean-Georges Noverre.
Mulai tahun 2007, keberadaan International Dance Day terus digalakkan. Perayaan seni tari yang dirintis oleh Komite Dansa International Theatre Institute
 (ITI), pada tahun-tahun berikut kian menunjukkan gemanya dan semakin diapresiasi masyarakat dunia.
Dalam sejumlah perayaan, ITI juga mengadakan Perayaan Gala Hari Tari Sedunia dengan selalu mengundang para anggota, penari, koreografer, mahasiswa tari, dan para penggemar untuk bergabung. Perayaan gala berlangsung di
 kota tuan rumah yang dipilih oleh ITI.
Tujuan dan pesan Hari Tari Sedunia sungguh
 mulia. Tujuannya adalah untuk mengobarkan
 persaudaraan dan menyatukan orang-orang dari
 seluruh dunia dengan bahasa universal yakni
 tarian.
Sedangkan pesan dari adanya peringatan ini adalah untuk merayakan tarian dalam keberagaman ekspresinya dengan melintasi semua hambatan politik, budaya, dan etnis. Tujuan dan pesan Hari Tari Sedunia ini sangat kontekstual dengan karakteristik bangsa kita yang ber-bhineka tunggal ika.
Lebih dari itu, di tengah kehidupan berbangsa yang masih rentan dan fluktuatif dengan “pandemi” riak-riak sentimen SARA, keindahan pelangi seni tari yang melenggang di bawah kepulauan Jambrut Khatulistiwa ini, semestinya menjadi “vaksin” yang mampu menangkal disintegrasi bangsa.
Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar
 
 



