Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Made Ratminingsih

Orangtua dengan cintanya yang tak terkondisikan akan selalu berusaha untuk mendukung dengan berbagai cara yang terbaik untuk kesuksesan putra-putrinya. Dukungan yang diberikan tak terbatas pada dukungan finansial saja, tetapi juga dukungan pengembangan diri dalam mencapai tujuan baik akademik maupun karier.

Namun bila dukungan berlebihan (over parenting), orangtua akan menjadikan anak tidak berkembang secara holistik dan seimbang. Mereka dapat menjadi pribadi yang kurang mandiri, yang tidak mampu merdeka dalam membuat keputusan dan memecahkan masalahnya sendiri.

Orangtua yang memberikan dukungan berlebihan ini biasanya banyak campur tangan dan mengontrol kehidupan anaknya dengan cara memfasilitasi dalam berbagai keistimewaan. Anak-anak yang seperti ini akan sangat tergantung pada orangtuanya, karena orangtua menjadi penentu bagaimana kehidupannya kelak.

Dengan semua keistimewaan yang didapatkan, anak cenderung menjadi pribadi yang menggampangkan karena segala sesuatu mudah didapatkan dan selalu terpenuhi dengan tanpa berusaha keras. Fenomena seperti ini banyak terjadi di sekitar kita, bahkan dipertontonkan oleh tidak sedikit pemegang kekuasaan di negeri ini.

Baca juga:  Penerapan FDS di SMPN 3 Bangli Dikaji

Anak-anaknya diarahkan dan tampaknya “dikarbit” untuk
menduduki pekerjaan atau jabatan strategis. Untuk dapat mengakomodasi dan mencapai tujuannya, orangtua harus menghalalkan segala cara agar anaknya sukses pada tampuk puncak jabatan tersebut.

Di satu sisi, tampak usaha orangtua yang maksimal tersebut merupakan sebuah usaha yang baik untuk memastikan anaknya memiliki masa depan yang sukses dengan gemilang. Di sisi lain, orangtua yang berlebihan memberikan dukungan tersebut tampak kurang mampu menganalisis dan menilai kompetensi anaknya.

Kemandirian (independence) merupakan salah satu keterampilan abad 21 yang harus dikembangkan dalam setiap individu, oleh karena itu orangtua yang bijak mestinya mengajarkan anaknya untuk mendapatkan sesuatu dengan usahanya sendiri atau tidak memanfaatkan jabatan (kekuasaan) orangtua.

Orangtua juga perlu sadar dan memberi kesadaran pada anak-anaknya bahwa untuk menuju puncak tangga keemasan, bila dilakukan sesuai dengan kemampuan dan usaha sendiri akan menghasillkan suatu rasa percaya diri dan kepuasan dibandingkan dicetak
‘karbitan’ oleh orangtua yang memaksakan kehendak.

Baca juga:  Perempuan Bali dalam Kancah Politik

Kesuksesan semacam ini adalah kesuksesan palsu.
Secara ideal dan natural, seseorang mampu menuju tangga teratas biasanya mulai dari tangga terbawah, yang didaki secara perlahan langkah demi langkah, bukan dengan cara meloncati berlangkah-langkah demi suatu pencapaian sementara yang ambisius. Orangtua yang ‘alpa’ menyadari tentang ajaran kebijaksanaan ini justru dapat mengakibatkan anak tergelincir dan jatuh terguling-guling dalam proses melompati beberapa tangga sekaligus dengan cara yang kurang wajar, sehingga bukannya kesuksesan yang diraih, tetapi justru membahayakan keselamatan anaknya sendiri.

Kecenderungan seperti ini dapat diumpamakan dengan ungkapan ‘sayang-sayang pentong’. Artinya orangtua menunjukkan kasih sayang yang luar biasa kepada anaknya sampai dengan memilihkan pekerjaan atau jabatan strategis dan krusial dengan harapan untuk memberikan keuntungan yang besar dan meyakinkan
anaknya memiliki kekuasaan seperti dirinya.

Baca juga:  LPPM Unud dan UI Gelar Aksi Peduli Pengungsi Gunung Agung

Orangtua yang tidak mempertimbangkan potensi, minat, bakat, dan kesiapan anak dalam suatu jabatan tertentu berisiko bukan hanya merusak kepribadian anak, tetapi juga menghancurkan karir karena tidak mampu menunjukkan performa terbaiknya, dan dapat mengakibatkan anak mengalami tekanan psikis dan fisik, sehingga dapat menghancurkan kehidupannya.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, orangtua sangat penting untuk mengasihi anak dan memberikan fasilitas yang terbaik sepanjang tidak berlebihan apalagi harus melanggar aturan demi menggapai sesuatu yang diniatkan orangtua.

Akan lebih bijak dan mulia bila orangtua menggunakan pendekatan holistik dalam memahami potensi, bakat, minat, dan kesiapan anak dalam mendukung perkembangannya, sehingga anak akan bertumbuh
menjadi pribadi utuh, mandiri, dan dewasa, bukan karena ambisi orangtua, seperti lagu Mbah Surip “Tak Gendong Kemana-mana”.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *