Seniman anak-anak memperlihatkan keahliannya dalam memainkan gender, Sabtu (28/6) di Ardha Chandra Art Center, Denpasar. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Suasana Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali, mendadak heboh dan penuh semangat Sabtu (28/6/2025). Ribuan pasang mata tertuju ke panggung kecil di depan Ardha Candra, Art Center, Denpasar.

Di sanalah, generasi cilik Bali mempertontonkan bakat luar biasa mereka dalam Lomba Gender Wayang Anak-anak, bagian dari gelaran akbar Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025

Tak ada kursi kosong, bahkan sebagian penonton rela berdiri dan duduk di luar area hanya demi mendengar suara gending. Tua, muda, hingga turis mancanegara terpukau oleh kehebatan empat pasang penabuh cilik dari empat kabupaten: Sanggar Suara Murti dari Gianyar, Komunitas Semaralaras dari Klungkung, Sanggar Rare Kumara dari Bangli, Sanggar Seni Kriya Sandhi dari Karangasem.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Harian Bali Masih Puluhan Orang

Mereka tampil berpasangan secara bergantian: Gianyar vs Klungkung dan Bangli vs Karangasem. Setiap pasangan memainkan tiga gending: Cangak Merengang, Gending Pamungkah, dan ditutup dengan Gending I Rebong, yang menggabungkan unsur manis dan gemes (keras).

Tepuk tangan membahana ketika gending yang dimainkan tiba-tiba berubah dari keras menjadi lembut namun tetap cepat. Sorak penonton pun tak tertahankan—anak-anak itu seperti menjadikan gamelan gender sebagai perpanjangan tubuh dan emosi mereka.

Dewan juri, I Gusti Putu Sudarta, dosen pedalangan ISI Bali, mengaku kagum. Ia menilai permainan para penabuh bukan sekadar musikal, tapi juga membentuk kepekaan tubuh, pikiran, bahkan moral.

Baca juga:  Kenaikan Harga Kedelai Diprediksi Tak Berlangsung Lama

“Mereka main dua panggul, masing-masing tangan beda peran, terkadang seperti berdialog. Ini bukan sekadar seni, tapi pendidikan karakter sejak dini,” ujar Sudarta penuh semangat.

Ia menambahkan, bermain gender wayang mengaktifkan seluruh unsur diri anak—pikiran, motorik, rasa, hingga budi pekerti. “Anak yang belajar gender sejak kecil, potensinya tak hanya musikal, tapi juga spiritual dan intelektual,” tegasnya.

Sayangnya, dari semua kabupaten, hanya Buleleng yang absen tahun ini. Namun secara keseluruhan, perkembangan minat terhadap gender wayang di kalangan anak-anak menunjukkan tren positif—seni klasik ini kini mulai bersaing dengan populernya gong kebyar di kalangan muda.

Baca juga:  Desa Adat Gelgel Siap Tampil Maksimal dalam Pawai PKB

I Ketut Buda Astra, pelatih dan Ketua Sanggar Suara Murti dari Gianyar, mengaku persiapan anak-anaknya sudah dilakukan sejak setahun lalu. “Gianyar juara tahun lalu. Menjaga juara itu lebih sulit daripada merebutnya. Makanya kami seleksi ketat dari 2024 dan kembali seleksi awal 2025 untuk pastikan kualitas,” jelasnya.

Kini, harapan besar bertumpu pada tangan-tangan kecil itu—agar gender wayang tak hanya hidup, tapi terus berkembang di masa depan, dimainkan oleh generasi penerus yang bangga akan akar budayanya. (adv/balipost)

BAGIKAN