DENPASAR, BALIPOST.com – Pandangan kondisi Bali yang overtourism sulit dibantah. Pasalnya indikator overtourism jangan hanya dengan melihat kuantitas saja.
Perlu juga dipahami berdasarkan kualitas pariwisata itu. Jika antara penduduk lokal dan wisatawan sudah sama-sama merasakan ketidaknyamanan, destinasi tersebut dapat dikatakan mengalami overtourism.
Ketua Ikatan Alumni Doktor Pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. Drs. I Nyoman Sunarta, Sabtu (7/9) mengatakan, jika ada antara guest dan host tidak nyaman di suatu destinasi, disebut overtourism.
Jika dikatakan Bali belum overtourism dengan melihat jumlah wisatawan dibandingkan dengan negara lain masih kecil, tidak merepresentasikan kondisi nyata. Begitu juga dikatakan overtourism hanya terjadi di Bali selatan dan perlunya pemerataan pariwisata, menurutnya tidak semua daerah di Bali bisa berkembang pariwisatanya.
“Siapa yang mau berbisnis di Culik, Lovina sampai sekarang kan sulit sekali berkembang. Padahal dia sudah dari tahun berapa itu ada. Oleh karena itu kebijakan kebijakan harus mendukung pemerataan,” ujarnya.
Pariwisata Bali kini memiliki masalah multimedimensi, sehingga tidak dapat dikatakan sedang baik-baik saja. “Secara umum Bali tidak baik -baik saja karena pariwisata Bali membutuhkan pengelolaan yang cukup komprehensif,” ujar Dekan Fakultas Pariwisata Unud Dr. I Wayan Suardana.
Meski demikian jika dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan memang belum maksimal dan tersentralisasi di Bali selatan. Populasi penduduk Bali juga tidak mengalami peningkatan signifikan. Maka dari itu perlu upaya mendistribusikan pariwisata ke daerah lain dari political will atau pelaku pariwisata.
Sunarta mengatakan yang paling penting menurutnya adalah pariwisata berpihak pada masyarakat lokal. Jika masyarakat lokal tidak percaya dengan pariwisata, maka jangan harap pariwisata itu bisa berkelanjutan. Masyarakat lokal tanpa ada wisatawan akan tetap melakukan kegiatan adat dan budaya.
Maka dari itu semestinya orang Bali tidak tergantung pada pariwisata. “Siapa sih yang diuntungkan dari pariwisata. Berapa persen orang Bali yang diuntungkan. Itulah tugas kita doktor pariwisata, agar berperan lebih banyak,” tandasnya.
Di beberapa tempat, banyak masyarakat yang mengeluh dengan pengelolaan pariwisata saat ini. Akan tetapi di Bali juga sebagian besar industri pariwisata nyaman dengan kondisi ini. Ke depan, yang perlu dilakukan adalah menyeimbangkan antara yang suka dan tidak.
Bali merupakan pulau kecil dengan sumber daya yang terbatas. Yang dijual untuk pariwisata adalah budaya. Budaya juga mencakup kegiatan atau aktivitas masyarakat dengan alam termasuk menjaga subak. Sementara ia mengaku miris dengan kondisi sawah saat ini. Dengan sawah hilang maka jangan harap budaya subak bisa bertahan.
Problemnya adalah sawah ada di tempat-tempat strategis untuk pengembangangan pariwisata. Maka tak dielakkan sawah pun akan hilang. Menurutnya pemerintah harus komitmen menjalankan aturan dengan tegas tanpa pandang bulu.
Jika nantinya perizinan pembangunan diambil alih oleh pemerintah pusat, asalkan tahu data terutama terkait budaya yang berlaku di Bali. “Dimana tempat yang disucikan dan sebagainya. Pusat itu engga tahu, tahu pun kadang kadang dibiarkan ada pelanggaran. Saya setuju dengan Pak Luhut, sawah kita tidak boleh lagi dibangun, tapi siapa yang berani tegas menindak,” tandasnya.
Sementara masyarakat pemilik sawah pun akan memilih untuk pariwisata dibandingkan dengan mempertahankan lahan sawahnya supaya secara ekonomi bisa makmur. Maka keberadaan petani dan masyarakat yang memiliki lahan sawah agar diberi subsidi, dibebaskan dari pajak, tata ruang diperketat dan kebijakan mendukung lainnya.
Dekan Fakultas Pariwisata Unud Dr. I Wayan Suardana mengatakan untuk menyebut Bali overtourism atau tidak, pihaknya tengah melakukan riset. Meski demikian yang perlu dilakukan saat ini adalah mengantisipasi dampak dampaknya. Seperti perilaku wisatawan yang berbeda dari sebelumnya. Hal itu terjadi karena pergeseran pasar ke market low budget yang berdampak pada pesimisme pada budaya, anti pada budaya, berperilaku yang aneh.
“Sementara sebelumnya kita agak homogen sebelum tahun 2019, masih Australia, Eropa tapi sekarang sudah heterogen. Kita sudah tidak mengenal low season, peak season lagi. Sekarang tiap bulan ada wisatawan, akhirnya konsekuensinya pada pariwisata Bali,” ujarnya.
Selain dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan dan jumlah penduduk, indikasi overtourism juga dilihat dari kerusakan-kerusakan yang dialami oleh lingkungan maupun yang lainnya serta aspek sosial dan ekonomi.
“Bagaimana pariwisata memberi kontribusi kepada masyarakat. Masyarakat menerima engga? Ada penolakan engga? Memang ada masyarakat di beberapa titik , spot utama pariwisata, ada yang sudah mulai bereaksi, seperti Seminyak, mengeluh macet, mereka sudah tidak nyaman hidup di situ,” ungkapnya.
Namun ada di tempat lain masyarakat baru menerima euforia pariwisata misalnya Nusa Penida. Saking kagetnya dengan jumlah kunjungan wisatawan yang sangat tinggi, masyarakat bersyukur ada wisatawan walaupun sudah antisipasi. “Jika sama kondisinya, berbahaya juga bagi Nusa Penida,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)