Seorang petani menyiangi rumput liar di lahan pertanian yang mengalami kekeringan di Banjar Telabah, Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, Kamis (1/10/2023). (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – World Water Forum (WWF) ke-10 akan digelar mulai hari ini, Sabtu (18/5) hingga seminggu ke depan. Sebagai tuan rumah, Bali tidak akan menuai hasil menyangkut kebijakan untuk mengatasi krisis air yang kini sedang melanda. Keuntungan terbesar penyelenggaraan WWF kemungkinan hanya untuk para pemilik hotel besar yang kebanyakan bukan krama Bali.

Ketua PPLH Unud Made Sudarma, Jumat (17/5) mengatakan pemilihan Bali sebagai tuan rumah karena
memiliki kearifan lokal dalam menjaga air. Kearifan lokal tersebut seperti konsep Tri Hita Karana dan pengelolaan air bernama Subak.

Sayangnya, menurut Sudarma, kearifan-kearifan lokal tersebut sesungguhnya kini tidak banyak diimplementasikan nyata. Saat ini Bali sudah dalam kondisi krisis air. Artinya jumlah kebutuhan air dengan ketersediaanya tidak lagi sesuai.

Baca juga:  Tiga Klon Beras Merah Terpilih Uji Pemurnian

Ini karena lingkungan alam yang tidak lagi dijaga dengan baik. Sementara itu, Subak mengalami nasib yang tidak lebih baik. Banyak subak yang lenyap seiring terjadinya alih fungsi lahan yang masif.

Sudarma mengatakan, Tri Hita Karana hanya menjadi pemanis di bibir dalam perhelatan WWF. Sedangkan kebanggaan terhadap Subak hanya semu belaka.

Ia meragukan WWF akan menghasilkan kebijakan penyelamatan Subak dan juga krisis air yang kini sedang dialami Bali. “Jangan hanya menggunakan Tri Hita Karana sebagai pemanis, dan selalu dipuji karena memiliki warisan subak serta kearifan lokal tapi apa benar sudah kita jaga? Dan saya pun tidak yakin WWF ini akan menghasilkan kebijakan untuk revitalisasi subak, serta menjaga ketersediaan air. Apakah benar ada kebijakan yang mengarah ke sana?” tandasnya.

Baca juga:  Usut Napi Kabur, Anggota Reskrim Datangi Lapas

Hal senada disampaikan Ketua Yayasan Abdi Bumi, Iwan Dewantama. Menurutnya, keterlibatan para peggiat lingkungan yang selama ini peduli terhadap kondisi air di Bali tidaklah banyak dalam WWF.

Ini menunjukkan bahwa WWF tidak diperuntukan menghasilkan kebijakan bagi solusi yang sedang dihadapi Bali. Padahal, Bali membutuhkan solusi terutama mengatasi krisis air.

Sejak beberapa tahun lalu, kata Iwan, hasil penelitian IDEP menunjukkan Bali sedang mengalami krisis air. Sayangnya, hingga kini, tidak banyak kebijakan yang benar-benar serius untuk mengatasinya.

Baca juga:  Tiga Tahun Kepemimpinan Gede Dana-Artha Dipa, Pembangunan di Karangasem Berkembang Pesat

Demikian pula dengan soal Subak yang terkesan dibiarkan saja perlahan-lahan lenyap karena masifnya alih fungsi lahan dan juga rebutan dalam penggunaan air. Banyak industri air kemasan yang menjadi pesaing petan dalam pemenuhan kebutuhan akan air. (Citta Maya/Nyoman Winata/balipost)

BAGIKAN