Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

“Aparat Kejati Bali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bendesa Berawa, Ketut Riana (KR) dan tiga orang lainnya pada Kamis (2/5) sore. Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ketut Sumedana mengungkap alasan melakukan OTT ini. Salah satunya karena oknum itu telah merusak nama baik Bali di mata investor internasional. Kedua, pelaku mengatasnamakan identitas budaya dan adat Bali. Kami ingin setelah ini, tidak ada lagi istilah seperti ini. Kami akan selalu mengintip dan monitoring segala upaya terkait seperti ini,” tegas Sumedana (BaliPost.com, 2/5).

Setelah merebaknya kasus penggelapan dana (korupsi) di beberapa Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, yang melibatkan pengurus, termasuk di antaranya oknum Bendesa Adat dan prajuru, kini menyeruak lagi kasus OTT terhadap oknum Bendesa Adat Berawa, Kuta Utara dalam kasus pemerasan investor. Menilik kata “Bendesa” (yang benar Bandesa) berasal dari kata “Banda-desa” yang artinya “diikat” krama desa dengan tugas dan kewajiban menangani, membimbing dan mengayomi masyarakat adat. Lalu bagaimana jika kemudian seorang Bandesa Adat (BA) diikat (baca: diborgol) pihak berwajib lantaran diduga terlibat tindak pidana pemerasan, sebagaimana tersiar dan tersebar lewat media pemberitaan.

Baca juga:  Restart Ekonomi Bali

Tentu ini bukan berita bagus, malah semakin menambah catatan kurang simpati dan jauh dari empati bagi keberadaan Desa Adat (DA), yang belakangan acapkali disoroti. Semisal dalam hal pengenaan sanksi adat tergolong keras/berat terhadap warganya sendiri, seperti kasepekang (pengucilan sosial) dan kanorayang (diberhentikan sebagai krama) bahkan berbuntut pengusiran dari wilayah DA seperti terjadi baru-baru ini di Nusa Penida. Pukulan telak terakhir yang mencoreng “kewibawaan” DA dilakukan BA Berawa yang begitu lihai memanfaatkan kesempatan (aji mumpung), memeras investor (meminta imbalan) dengan mengatas-namakan identitas adat, budaya dan kegiatan keagamaan (Hindu).

Perilaku oknum Bendesa Adat (BA) Berawa ini jelas sudah  melampaui tugas, kewajiban dan wewenangnya yang sebenarnya meliputi bidang parahyangan (pura dan ritual yadnya), pawongan (krama) dan palemahan (wilayah/lingkungan), sebagaimana tersurat pada Pasal 30 (huruf c) Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.

Baca juga:  Bali Tuan Rumah "Asian Animation Summit"

Jadi tidak ada urusan langsung dengan hal ikhwal menyangkut investasi, yang secara legal formal menjadi kewenangan pemerintah berdasar ketentuan/peraturan perundang-undangan negara. Kalau pun ada peran DA melalui BA berkaitan dengan segala hal yang akan datang dan masuk, lalu menyentuh serta berpengaruh terhadap eksistensi DA, maka akan lebih banyak berhubungan dengan permintaan untuk mematuhi norma adat yang berlandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal setempat.

Tentunya dengan merujuk konstruksi DA yang dibangun atas dasar ajaran Tri Hita Karana dengan tujuan mewujudkan kehidupan masyarakat (krama) yang sejahtera dan bahagia, meliputi sukertha tata parahyangan (hubungan religis umat dengan Tuhan), sukertha tata pawongan (hubungan sinergis antar manusia) dan sukertha tata palemahan (hubungan harmonis manusia dengan lingkungan/alam).

Namun, tak dapat dimungkiri, sepertinya ada semacam tafsiran keliru terhadap  pengertian  DA yang dijelaskan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang tumbuh berkembang selama berabad-abad serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri. Kata “hak otonomi” ini sepertinya diberikan makna sebagai “daerah otonom” yang memiliki “kekuasaan” melekat pada prajuru dalam hal ini BA sebagai pucuk pimpinan tertinggi untuk melakukan, bertindak dan atau memutuskan sesuatu untuk dan atas nama kepentingan DA, meski kemudian dalam kasus OTT  BA Berawa dimanipulasi demi kepentingan pribadi.

Baca juga:  Meretas Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, Mungkinkah Tinggal Sebuah Kenangan?

Sebenarnya bilamana diperlukan, boleh saja seorang BA memanfaatkan situasi perkembangan pembangunan di lingkungannya dengan mengambil peran “meminta” dana paritisipasi guna membangun DA. Tentunya dalam batas tertentu pada level kewajaran (standar) dan kesepakatan tanpa tekanan apalagi paksaan (pemerasan). Semua itu dapat dikondisikan, semata-mata demi kelancaran kepentingan pihak investor atau bentuk usaha lainnya yang sudah pasti telah dikalkulasi untung ruginnya. Diluar itu, sebagaimana menimpa BA Berawa akhirnya terjaring OTT Kejati Bali, dan itu menampar  “kharisma” DA yang selama ini diakui sebagai bentengnya adat, budaya Bali yang dijiwai nilai-nilai ajaran Hindu.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *