Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Gempa bermagnitudo 5,6 yang terjadi di Cianjur semakin mengingatkan bahwa kita memang tinggal di negeri yang rawan gempa. Banyak sesar patahan aktif gempa yang ada di sekitar kita, yang sewaktu-waktu dapat memicu terjadinya gempa.

Sebagaimana sesar patahan Cimandiri yang memicu terjadinya gempa dangkal Cianjur. Banyak bangunan gedung (rumah tinggal maupun gedung fasilitas publik) yang runtuh. Hal ini akibat adanya penggunaan material semen dan beton yang kurang tepat.

Situasi ini akibat sistem struktur rangka betonnya yang tidaknsempurna. Sehingga ketika terjadi gempa, bangunan tidak cukup lentur dalam menahan beban horizontal gempa.

Dalam hal ini masyarakat perlu memahami mitigasi bencana gempa secara tepat dan terarah. Selanjutnya akan memahami upaya dalam mengurangi risiko bencana
gempa.

Masyarakat harus diberi penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana gempa
yang ada di sekitar hunian dan aktivitas keseharian mereka. Kita semua harus mengenali karakter material dan mekanika konstruksi bangunannya.

Baca juga:  Pergerakan Sesar Cimandiri dan Erupsi Gunung Gede, BMKG : Itu Hanya Hoaks

Bangunan harus memiliki tingkat kestabilan beban yang
tinggi. Secara teori, titik berat bangunan harus berada di bawah titik setengah ketinggian bangunan. Itulah sebabnya nenek moyang kita banyak menggunakan bahan
ijuk maupun rumbia sebagai penutup atap karena ringan.

Semakin ke bawah, menggunakan material yang lebih berat. Seperti kayu pada tiang dan batu pada pondasi bangunan. Secara tradisional memang digunakan kayu atau bambu. Namun kemajuan teknologi memungkinkan kita untuk menggunakan beton atau baja, sepanjang sistem strukturnya diterapkan dengan benar.

Sehingga bangunan tetap lentur saat terdampak gempa. Keunikan bentuk bangunan hunian masyarakat Indonesia yang berbeda-beda antardaerah satu dengan lainnya, merupakan bukti kearifan budaya masyarakat Indonesia dalam menanggapi kondisi alam lingkungan kehidupan mereka.

Baca juga:  MRT, Moda Rekonsiliasi Terpadu

Hal ini merupakan bentuk strategi adaptasi nenek moyang kita. Sementara konstruksi bangunan kayu atau bambu
adalah cara antisipasi nenek moyang kita atas goncangan
gempa yang sewaktu-waktu akan menimpa rumah mereka. Material kayu/bambu dengan sistem struktur rangka, adalah bentuk yang cukup lentur terhadap beban horizontal yang merupakan ciri beban gempa bumi.

Kalaupun terjadi goncangan gempa yang sangat kuat, maka bangunan akan condong miring kemudian baru roboh secara perlahan. Bangunan tidak akan runtuh
seketika, sehingga penghuni mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri dari bangunan yang roboh terkena goncangan gempa yang sangat kuat.

Data gempa dahsyat Yogyakarta 2006 yang berkekuatan 5,9 skala Richter, mencatat kerusakan berat bangunan di Bantul mencapai 143.135 unit, dengan korban meninggal 4.143 jiwa (2,86 persen x bangunan roboh).

Sementara di Kulon Progo 12.819 bangunan rusak berat, dengan korban jiwa 22 orang (0,17 persen). Hal ini karena di Kulon Progo masih banyak rumah yang menggunakan material kayu dan bambu.

Baca juga:  Sikap Politik Bung Karno atas Israel dan Palestina

Serahkan pembangunan gedung kepada ahlinya. Sudah seharusnya tidak sembarang orang boleh melakukan pembangunan gedung dengan tanpa adanya penanggung
jawab yang ahli. Secara tradisi kebudayaan, di Bali ada undagi sebagai penanggung jawab pembuatan suatu bangunan.

Hanya undagi yang boleh melakukan perancangan dan penciptaan karya bangunan. Menyitir pernyataan seorang ahli mitigasi bencana, bahwa sudah seharusnya kita
berdamai dengan alam. Alam telah memberikan berkah kehidupan kepada kita, sudah selayaknya kalau kita yang harus menyesuaikan diri dengan alam sekitar. Bagi krama Bali sikap ini tentu bukan sesuatu yang baru, hanya mungkin perlu selalu diingatkan.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN