Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh  I Gusti Ketut Widana

Melalui berbagai media pemberitaan (cetak/online) terutama medsos diposting tayangan singkat perihal sampah berserakan di seputaran area suci Pura Besakih serangkaian karya agung Ida Bhatara Turun Kabeh (IBTK). Bahkan ada juga penampakan tumpukan sampah melimpah ruah yang dibuang ke jurang di lingkungan Banjar Palak, Desa Besakih Karangasem. Tidak hanya sampah organik yang berasal dari sisa (lungsuran) haturan upakara bebanten umat (pamedek), tetapi juga turut bercampur-baur sampah plastik, kertas/karton, kaleng minuman dan sebagainya.

Pemandangan tak indah ini nyaris selalu terjadi dimanapun aktivitas ritual yadnya dilakukan. Seakan sudah lumrah dan sah-sah saja, meski sebenarnya hal itu  menjadi masalah yang seolah tak pernah dicarikan solusi. Justru yang muncul polusi ; pencemaran lingkungan, perusakan pemandangan, dan berisiko menjadi media penyebaran penyakit dari limbah sampah yang tak tertangani.

Sejatinya, yang namanya ritual yadnya adalah bersifat suci. Selalu  diawali dengan asuci laksana, yaitu bersih (lahir/jasmani) dan batin yang disebut “Sauca” (salah satu ajaran Panca Niyama Brata), mulai dari pikiran (manacika), perkataan (wacika) dan perbuatan (kayika). Pelaksanaannya dilandasi ajaran Tri Hita Karana, yang melahirkan konsep “Bhatre” (Bhakti-Tresna-Eling).

Baca juga:  Transformasi Parpol Dalam Pemilu 2024

Caranya, seraya menjalankan kewajiban “Bhakti” (sembah-puja) ke hadapan Hyang Widhi dan Ida Bhatara-Bhatari, apalagi di tempat suci setingkat kahyangan agung Pura Besakih, wajib hukumnya menunjukkan rasa “tresna” (asih/kasih) dengan saling menghargai sekaligus mengingatkan kepada semua pamedek untuk senantiasa “eling”, peduli lingkungan/alam. Antara lain dengan menjaga kebersihan area/mandala Pura (jeroan/jaba tengah/jabaan) agar tetap tampak bersih, asri dan indah.

Betapapun, nilai bhakti itu tidak hanya tercermin ketika umat menghaturkan persembahan saja, sebesar/semahal apapun bebanten-nya, tetapi meliputi juga pikiran suci yang kemudian terekspresi melalui perkataan yang benar, lanjut diwujudkan dengan perilaku penuh kebaikan. Apakah itu? Untuk soal penanganan sampah sisa haturan, apapun bentuknya, dapat menerapkan rumus “3 B” (Bhakti-Bakta-Bukti).

Baca juga:  MICE untuk Masyarakat Desa

Praktiknya, usai menyelesaikan kewajiban bhakti (sembah-puja), haturan bebantennya agar di-bakta (dibawa) kembali ke rumah, sebagai bukti umat sangat peduli  dengan kebersihan dan kesucian Pura, dan lingkungan sekitarnya. Sangat disayangkan dan juga memprihatinkan, ajaran Hindu yang kaya konsep  berdasar rujukan teks kitab suci, justru dalam implementasinya seringkali “nungkalik” (kontradiktif).

Mengambil contoh negara tetangga Singapura misalnya, yang sama sekali tidak mengenal Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha dan Sauca, justru nilai-nilai ajaran itu berhasil diterapkan dengan optimal hingga dkenal dan populer sebagai negara tergolong bersih di dunia. Sementara Indonesia, khususnya Bali dengan label masyarakat sosialistis religius plus sebutan Pulau Surga, Pulau Dewata, Pulau Kahyangan dengan ribuan tempat sucinya dan cenderung berorientasi ke alam niskala, malah di dunia sakala (nyata) acapkali menunjukkan tindakan/perilaku yang bertendensi mencemari, mengotori, menodai  hal-hal atau sesuatu yang sebenarnya harus dirawat/dijaga kesucian/kesakralannya, seperti halnya Pura Besakih.

Ambil contoh, saat pamedek membeludak, acara persembahyangan dilakukan secara bergilir (bertahap). Ketika setiap tahapan selesai meski umat belum usai nunas tirtha dan bija, rombongan “juru sapuh” dengan gercep melakukan pembersihan, dibantu para pembawa gerobak pengangkut. Haturan Canang Sari yang masih tampak segar pun disapu-lidi hingga bersih di atas asagan, kecuali sesari.

Baca juga:  RDTR Bandara di Buleleng Diminta Jaga Kawasan Suci

Secara etika, sebenarnya “tidak etis”, namun mengingat tempat terbatas dan giliran umat berikutnya telah siap ngaturang bhakti, maka para pamedek-lah yang  wajib membawa kembali segala haturan beserta kelengkapan lainnya ke rumah, dan Canang sebagai tuntungin bantennya dapat diunggahang lagi di Piyasan Sanggah/Mrajan masing-masing. Andai saja rumus “3 B” ini dapat diterapkan atau dilakukan umat dengan sadar dan disiplin, sepertinya tak akan ada lagi cerita  masalah sampah. Pura Agung Besakih tempat ngaturang sembah memohon berkah anugerah itupun akan selalu tampak bersih, asri dan tentunya semakin indah.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN