Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Satrya

Jika Bung Karno memiliki nama besar di dunia pada masanya, dapat disebutkan berbagai kiprahnya dalam pergaulan global. Kecerdasan Bung Karno tidak semata-mata jago lobi dan berbahasa asing, tetapi tepat melakukan positioning dan membangun sinergi (networking) dengan bangsa-bangsa di dunia.

Pada masa Bung Karno, Indonesia sebagai negara baru mutlak membutuhkan pergaulan global guna mendapat pengakuan yang sejajar di antara bangsa-bangsa. Pilihan Bung Karno melakukan kinerja kebudayaan untuk merangkul bangsa-bangsa dapat dilihat melalui even-even internasional yang dihelat di Indonesia.

Sebut misalnya Ganefo, KTT Asia Afrika dan KTT Non Blok yang melegenda dan tertancap kuat dalam sejarah negara-negara kecil yang kontra dengan kekuatan blok barat, merupakan ‘warisan monumental’ presiden pertama negeri ini. Wikipedia mencatat, Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan.

KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dulu Burma), Sri Lanka (dulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955 diGedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Baca juga:  Inflasi dan Daya Beli

Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Republik Rakyat China dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.

Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang “pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia”. Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru. Sejarah mencatat, konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961.

Baca juga:  Eco Enzyme, Pengolahan Limbah Rumah Tangga

Olimpiade 2032

Kini, 68 tahun pasca penyelenggaraan KAA di Indonesia, dalam suasana pandemi covid-19, Indonesia menyiapkan diri menjadi tuan rumah Olimpiade 2032. Surat kesediaan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade pada 2032 yang ditandatangani Presiden RI, telah diberikan kepada Presiden IOC (International Olympic Committee) Thomas Bach oleh Dubes RI di Bern, Muliaman D Hadadenin, pada Senin (11/2) tiga tahun lalu.

Dengan demikian, Indonesia resmi dicalonkan menjadi kandidat tuan rumah even olah raga terakbar di dunia itu. Sinergi antara dunia olah raga dan menumbuhkan model bisnis baru di Tanah Air. Secara khusus, wisata olahraga melalui even-even sport berkelas internasional, meskipun diadakan temporer, ditengarai sebagai motor pemicu peningkatan taraf ekonomi yang signifikan bagi tuan rumah penyelenggara.

Olah raga selain penting untuk kesehatan jiwa dan raga, juga semakin relevan dengan konteks perkembangan jaman di mana olah raga itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Dunia bahkan mengenal even olah raga tidak sebatas pertandingan antar negara, tetapi lebih-lebih menyangkut gengsi tuan rumah, gengsi juara dan terutama, even wisata yang ditandai dengan kedatangan kontingen, atlet, supporter dan official yang bertanding.

Baca juga:  Tokyo Turunkan Status Keadaan Darurat

Ada dua keuntungan sekaligus terkait sport tourism, sebagai pemenang jelaslah membanggakan asal negara di kancah dunia, dan sebagai tuan rumah menjadi momentum emas meraih devisa. Di dunia olah raga kita melihat hiburan. Sepak bola misalnya, hiburan tersaji lewat permainan yang terus menerus saling menyerang, terus menerus berada di daerah berbahaya lawan.

Itu semua baru bisa dinamakan sepak bola. Budayawan Sindhunata (2002) menuturkan, sepak bola tidak sekadar permainan kaki melawan kaki dan kaki mendukung kaki. Sepak bola adalah kisah kehidupan manusia. Bola berputar seperti alur kehidupan manusia yang penuh gejolak dan dinamika.

Kegemilangan prestasi Indonesia menjadi tuan rumah KAA 68 tahun yang lalu, sekiranya menjadi energi yang positif bagi bangsa Indonesia untuk mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh sebagai calon/kandidat tuan rumah Olimpiade 2032. Semoga menjadi kenyataan, 9 tahun lagi akan dilangsungkan Olimpiade di Indonesia.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN